Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...
Semoga limpahan nikmat Allah senantiasa tercurah pada kita. Beberapa waktu yang lalu, saya sudah memposting kajian singkat seputar tradisi ngapati. Dah baca belum ya? Kalau sahabat belum baca, silakan baca di sini.
Sore ini, saya akan mengajak sahabat berbincang seputar tradisi lainnya yang masih berkaitan dengan kehamilan, yakni tradisi mitoni. Tradisi mitoni ini sering juga disebut dengan tingkepan. Apa bedanya dengan tradisi ngapati?
Sahabat, tradisi ngapati berkaitan dengan empat bulan kehamilan seorang wanita, sedangkan tradisi mitoni berhubungan dengan tujuh bulan masa kehamilan seorang wanita.
Seperti halnya tradisi ngapati, mitoni ini juga sering disalahpahami oleh sebagian orang, sehingga tanpa berat hati mereka memvonisnya haram, bid'ah, syirik dan para pelakunya akan masuk ke dalam neraka. Ngerii nggak tuhh..!??!
Tapi ndak perlu pusing dengan vonis-vonis semacam itu. Anggap saja bahwa hal itu keluar dari orang-orang yang memang belum mengkaji apa sebenarnya tradisi mitoni dan apa tujuan di balik pelaksanaan tradisi tersebut.
Itulah sebabnya sore ini saya ingin mengajak sahabat membincangkan masalah ini, agar sahabat tidak ikut-ikutan menjadi 'ahli fatwa'.
Sahabat sekalian....
Kalau sahabat bertanya, "Adakah dalil yang menjadi landasan atau yang mengilhami lahirnya tradisi mitoni?"
Jawabnya, "Ya, ada."
Saat para ulama membiarkan suatu tradisi hidup di tengah masyarakat tentulah karena mereka tahu bahwa yang terjadi itu tidak mengapa dalam pandangan agama. Karena para ulama tentu tidak akan diam dan membiarkan sebuah tradisi yang haram hidup di tengah masyarakat. Demikian halnya dengan mitoni. Tradisi itu telah hidup dari generasi ke generasi dan di tengah setiap generasi itu ada para ulama yang menjadi saksi keberlangsungan tradisi tersebut.
Yang dijadikan landasan oleh para ulama untuk membolehkan tradisi mitoni adalah firman Allah Swt berikut:
"Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan daripadanya Dia menciptakan istrinya (Hawa) agar dia merasa senang kepadanya. Maka, setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung (dengan) kandungan yang ringan, dan teruslah dia mereka ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala ia merasa berbobot berat (kandungannya itu), maka keduanya (Adam dan Hawa) memohon kepada Allah, Tuhan mereka, seraya berkata, "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur." (QS. al A'raf: 189)
Jika sahabat menyimak ayat tersebut dengan teliti, maka kita akan temukan alasan mengapa tradisi mitoni itu bisa hidup di tengah kehidupan umat Islam di tanah Jawa.
Pada ayat tersebut ada kalimat, "...tatkala ia merasa berbobot berat (kandungannya itu),..." Tahukah sahabat mulai bulan keberapa kandungan seorang wanita itu terasa berbobot berat? (Belum tahu? Sana tanya dulu yang pernah hamil...heheheh...)
Jawabannya adalah tatkala memasuki usia kandungan tujuh bulan. Tujuh bulan dari masa hamil adalah saat kandungan terasa cukup berat hingga tiba saat melahirkan. Seorang wanita yang usia kehamilam memasukui bulan ketujuh akan sangat merasa berat, bahkan pinggangnya pun akan terasa sakit. Ini memang fase berat hingga paling berat saat melahirkan.
Pada kalimat berikutnya dari ayat di atas disebutkan, "...maka keduanya (Adam dan Hawa) memohon kepada Allah, Tuhan mereka..."
Artinya, Adam dan Hawa secara sengaja berdoa kepada Allah dan memohon agar dikaruniai anak yang saleh tatkala kehamilan Hawa terasa berat, yang itu terjadi pada bulan ketujuh dari masa kehamilan.
Nah, apa yang dilakukan oleh Nabi Adam dan Bunda Hawa inilah yang menginspirasi umat Islam di tanah Jawa untuk melakukan tradisi mitoni. Dalam tradisi mitoni yang dilakukan adalah berdoa kepada Allah, memohon agar Allah memberikan kesehatan kepada si ibu maupun si calon bayi, juga agar Allah berkenan menjadikan si calon bayi kelak lahir ke dunia dalam keadaan selamat, menjadi anak yang saleh / salihah. Dalam tradisi itu pula dikeluarkan sedekah yang dengannya diharapkan Allah meridhai dan mengabulkan apa yang dimohonkan.
Dengan demikian tidaklah layak untuk memvonis haram, syirik atau bid'ah tradisi mitoni, karena tradisi tersebut tidak menyelisihi syariat Islam.
Tentu saja jika kemudian pada saat pelaksanaan mitoni itu ada hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat Islam, itulah yang harus diluruskan dan diubah. Misalnya, saat mitoni harus mandi dengan air yang berasal dari 7 sumur, tidak boleh kurang meskipun hanya 1 sumur, karena diyakini jika kurang akan mengakibatkan petaka bagi si bayi. Keyakinan yang demikian ini tentu tidak boleh. Itu harus kita ubah dan diluruskan. Yang diubah bukan masalah pada air yang berasal dari 7 sumur, namun keyakinan bahwa itu wajib dan akan mendapat bencana jika kurang dari 7 sumur.
Namun demikian, jangan sampai kita terburu-buru memvonis syirik dan haram tradisi mitoni hanya karena persoalan seperti yang dijelaskan di atas. Saat ini umat Islam di tanah Jawa sudah memahami mana yang syirik dan mana yang tidak. Sehingga pada saat pelaksanaan mitoni hanya diisi dengan doa dan sedekah, tanpa mandi 7 sumur. Kalau pun ada yang masih melaksanakan mandi dengan air 7 sumur, maka itu dipandang hanya sebagai sebuah tradisi tanpa disertai di dalamnya keyakinan wajibnya dan mendapat bencana bila tidak dilaksanakan.
Oleh karena itu, selayaknya kita memilih mana tradisi yang tidak menyelisihi syariat Islam dan mana yang meyelisihinya. Jika ada yang menyelisihi syariat Islam, harus diluruskan sesuai dengan syariat Islam.
Demikianlah sahabatku kajian singkat kita tentang tradisi mitoni. Semoga bermanfaat dan membuka wawasan kita betapa indahnya budaya yang dihasilkan oleh makhuluk Allah bernama manusia ini.
Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
0 Comments:
Posting Komentar