Assalamu'alaikum..., selamat datang di Blok Kajian Fiqih Syafi'i. Semoga sahabat memperoleh manfaat dari blog ini. Mohon klik LIKE pada Facebook kami dan pada postingan-postingan kami ya, supaya ramai. Jika berminat dengan buku-buku Aswaja, silakan klik pada link Toko Buku Aswaja. Semoga limpahan barakah Allah selalu tercurah pada kita semua. Amiin...

Jumat, 05 Desember 2014

Terjemah Kitab Fathul Mu'in

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i

Sore ini saya ingin berbagi kembali dengan sahabat sebuah kitab fiqih yang sangat terkenal di kalangan madzhab Syafi'i, yakni Fathul Mu'in.

Sebagaimana yang telah kita maklumi bersama bahwa kitab Fathul Mu'in ini di kalangan pesantren adalah sebuah kitab hukum Islam yang dianggap sukar dan sulit dipahami. Sehingga kitab tersebut menjadi barometer kepandaian para santri dalam membaca dan memahami kitab-kitab fiqih lainnya yang berbahasa Arab.

Nah, di sini saya akan membagikan kepada sahabat link-link yang darinya sahabat bisa mendownload secara gratis terjemah kitab Fathul Mu'in lengkap sebanyak 3 jilid. Berikut linknya dan semoga bermanfaat.

Fathul Mu'in Jilid 1a download di sini
Fathul Mu'in Jilid 1b download di sini
Fathul Mu'in Jilid 1c download di sini

Fathul Mu'in Jilid 2a download di sini
Fathul Mu'in Jilid 2b download di sini
Fathul Mu'in Jilid 2c download di sini
Fathul Mu'in Jilid 2d download di sini
Fathul Mu'in Jilid 2e download di sini
Fathul Mu'in Jilid 2f  download di sini
Fathul Mu'in Jilid 2g download di sini

Fathul Mu'in Jilid 3a download di sini
Fathul Mu'in Jilid 3b download di sini

Kalau sahabat ingin Fathul Mu'in versi Arabic, silakan download di sini

Demikian sahabat, link terjemah kitab Fathul Mu'in lengkap dari jilid 1 hingga 3, dan juga link untuk yang versi Arabic. Semoga kita semua bisa mengambil manfaat darinya. Demikianlah pula penulisnya, penerjemahnya, yang melakukan scan, dan membuat link untuk download, semoga mendapatkan berkah dari Allah Swt.

Wassalam

Terjemah Kitab Al Umm

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i

Kali ini saya akan berbagi kitab Al Umm dengan para sahabat. Tahukah sahabat kitab Al Umm?
Kitab Al Umm adalah kitab terbaik yang menjadi pegangan hukum (fiqih) para penganut madzhab Syafi'i di Indonesia yang merupakan madzhab terbesar. Kitab ini mencakup pembahasan yang luas dalam bidang fiqih dan menjadi fase awal perkembangan ilmu hadits menjadi ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu. Kitab ini juga menjadi rujukan bagi kalangan ahli fiqih madzhab Syafi'i hingga saat ini dalam menyusun karya-karya mereka.

Kitab Al Umm (terjemahan) yang ada adalah 11 jilid. Di sini selengkap mungkin akan saya sediakan. Namun, mohon maaf untuk jilid 3 dan 10 belum ditemukan. (Hilang entah ke mana linknya, hehehe). Tapi mudah-mudahan yang ada ini akan memberi manfaat bagi para sahabat.

Bagi sahabat yang menginginkannya, silakan unduh pada link-link yang saya sediakan berikut. Semoga bermanfaat.

Al Umm Jilid 1 download di sini
Al Umm Jilid 2 download di sini
Al Umm Jilid 3 download (maaf, belum ketemu link-nya. Kalau sahabat tahu tolog dishare di sini ya.heheh..)
Al Umm Jilid 4 download di sini
Al Umm Jilid 5 download di sini
Al Umm Jilid 6 download di sini
Al Umm Jilid 7 download di sini
Al Umm Jilid 8 download di sini
Al Umm Jilid 9 download di sini
Al Umm Jilid 10 download (maaf, belum ketemu link-nya. Kalau sahabat tahu tolog dishare di sini ya.heheh..)
Al Umm Jilid 11 download di sini 

Wassalam

Kamis, 04 Desember 2014

Album Shalawat Hadrah: Al Asyiqien Group

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Yuk, dengerin shalawat. Berikut adalah album shalawat yang bisa sahabat download.

Album ini merupakan Shalawat versi Hadrah Banjari terbaru di tahun 2014 ini. Insya Allah bagus. Bisa dijadikan referensi variasi pukulan dan variasi vokal. Kebanyakan diambil dari irama festival hadroh al banjari Jawa Timur, Indonesia.

Kami mencoba menelaah dari album ini sebagai berikut :

1. Hadrah Banjari
2. Judul lagu favorite "Dhoharoddin", namun dalam tajuk album ini adalah lebih menampilkan dengan lagu Ya Muhaimin, Habibi Ya Muhammad, karena lebih asyik dan indah lantunannya.
3. Munsyid lelaki semua.
4. Pukulan Hadrah Banjari Bas Kurang.
5. Suluk Oke, Variasi Banjari Bagus

Di bawah ini adalah link downloadnya:

Semoga bermanfaat dan menambah cinta kita kepada Rasulullah Saw.
Jangan lupa beli CD aslinya ya. Semoga berkah.

Sumber: Gema Sholawat

Wassalam

Istinjak

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Yuk kita lanjutkan lagi kajian fiqih kita. Saat ini saya akan mengajak sahabat untuk memperbincangkan persoalan instinjak. Ngomong-ngomong sahabat dah tahu belum apa yang dimaksud dengan istinjak?

Secara sederhana, yang dimaksud dengan istinjak adalah bersuci setelah buang air (kecil ataupun besar). Nah, perlu diketahui nih, bahwa istinjak atau bersuci setelah buang air itu hukumnya wajib. Ingat ya, waaajiibbb!!! Mungkin kalau buang air besar setiap orang akan melakukan istinjak. Tapi, masih banyak hingga saat ini umat Islam yang lalai beristinjak setelah buang air kecil. Padahal istinjak hukumnya wajib setelah buang air.

Mengapa wajib? Karena orang yang baru buang air tentulah mengeluarkan najis. Kalau setelah buang air ia tidak beristinjak, maka najis masih menempel pada bagian tubuhnya. Jika dalam keadaan seperti itu ia menunaikan shalat, maka shalatnya tidak sah. Orang yang shalatnya tidak sah, sama seperti orang tidak menunaikan shalat. Ia berdosa.

Dari segi kesehatan pun tentu sangat tidak baik bila setelah buang air tidak istinjak. Bisa jadi berbagai macam penyakit akan lahir dari keadaan kotor yang demikian itu. Itulah sebabnya dalam syariat Islam, beristinjak itu hukumya wajib.

Para ulama madzhab Syafi'i mengatakan bahwa lebih utamanya melakukan istinjak itu adalah dengan beberapa buah batu, kemudian diikuti dengan air. Namun, mencukupkan hanya dengan air saja, atau dengan tiga buah batu yang bisa membersihkan tempat keluarnya najis adalah boleh. Akan tetapi, bila harus memilih satu di antara keduanya (batu atau air), maka yang lebih utama adalah dengan air.

Anas bin Malik ra berkata, "Adalah Rasulullah Saw masuk WC. Aku dan seorang temanku membawakan bejana air dan tombak kecil. Kemudian beliau beristinjak dengan air." (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Mas'ud ra berkata, "Nabi Saw (pernah) pergi ke WC, dan memerintahkan agar aku membawakan tiga buah batu." (HR Bukhari dan lain-lain)

Aisyah ra mengatakan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, "Apabila seseorang di antara kalian pergi ke WC, maka hendaklah ia membawa serta tiga buah batu untuk berinstinjak. Sesungguhnya tiga buah batu itu sudah mencukupi (untuk beristinjak)." (HR Abu Dawud dan lain-lain)

Sahabat, kalau kita perhatikan hadits-hadits di atas dinyatakan beristinjak dengan batu. Apakah harus batu dan tidak boleh yang lain?

Tentu tidak, sahabat. Selain batu juga boleh. Semakna dengan batu adalah segala macam benda padat yang kering dan suci serta bisa dipergunakan untuk menghilangkan najis, seperti kertas, batu bata, dan lain-lain. 

Demikianlah keterangan singkat berkaitan dengan persoalan istinjak. Semoga sahabat bisa mengambil manfaat darinya dan bisa kita amalkan dalam kehidupan kita.

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Berhati-hatilah

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i

Diriwayatkan bahwa dalam khutbahnya, Abu Bakar ash-Shiddiq ra pernah berkata:

"Demi Allah, aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Aku dalam posisi dan keadaan terpaksa. Aku ingin di antara kalian ada yang mampu menggantikan posisiku ini. Apakah kalian mengira aku akan melaksanakan sunnah Rasulullah secara penuh? Tidak. Aku tidak mampu melaksanakan semuanya. Sesungguhnya, Rasulullah Saw dijaga dengan wahyu dan malaikat bersama beliau. Sementara setan bersamaku, yang selalu menggodaku. Jika aku marah, maka menjauhlah dariku, agar aku tidak menzalimi rambut dan kulit kalian. Perhatikanlah ucapanku ini." (Kanzul 'Ummal, karya Alauddin Ali Muttaqi al-Hindi, no. 14118; Tahdzib Hilyatul Auliya' wa Thabaqatul Ashfiya', karya Shalih Ahmad Syamy, h. 60)

Sahabat...

Ini adalah pengakuan yang jujur dari salah seorang sahabat utama Nabi Saw. Di sini Abu Bakar ash-Shiddiq ra mengakui bahwa posisi yang disandangnya sebagai seorang khalifah bukanlah karena ia telah menjadi manusia terbaik di antara manusia yang ada pada saat itu. Jabatan khalifah adalah sebuah amanah yang diberikan kepadanya. Ia tidak bisa menolak saat amanah itu diembankan kepadanya.

Pengakuan lainnya adalah meskipun ia sangat dekat dengan Nabi Saw, namun hal itu tidak berarti memberikan kemampuan baginya untuk mengamalkan seluruh sunnah yang berasal dari Nabi Saw. Abu Bakar ra menyadari kelemahannya sebagai makhluk yang sangat berbeda dengan Rasulullah Saw. Jika Rasulullah Saw selalu dijaga Allah dengan wahyu dan malaikat-Nya, maka Abu Bakar ra selalu berhadapan dengan setan yang tak kenal lelah berusaha menggodanya.

Nila luar  biasa yang dikandung oleh nasihat ini adalah kejujuran untuk mengakui kekurangan diri dan tidak merasa menjadi manusia yang paling utama hanya karena jabatan yang disandang.

Melalui nasihat ini Abu Bakar ra mengajak kita semua untuk menyadari dan mengakui bahwa sesungguhnya kita tidaklah lebih istimewa dan lebih mulia dibandingkan orang lain. Sikap terbaik yang harus kita pilih adalah senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah Ta'ala dan menyemangati diri untuk selalu mengamalkan sunnah-sunnah Nabi Saw tanpa harus merasa telah menjadi manusia sempurna dan istimewa di antara makhluk ciptaan Allah di dunia ini.

Semoga bermanfaat. Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.  

Selasa, 02 Desember 2014

Bahaya Judi

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i

Semoga limpahan berkah Allah tetap tercurah pada kita. Pagi ini saya ingin mengajak sahabat semua untuk merenungkan hikmah di balik diharamkannya judi oleh Allah Swt. Tentu saja saat Allah mengharamkan sesuatu, maka ada kebaikan yang akan kita peroleh tatkala kita menjauhinya; dan sebaliknya, akan ada bahaya (mudhorot) yang akan menimpa kita jika kita melakukannya.


Allah Swt berfirman:

"Sesungguhnya (minuman) khamar (arak/memabukkan), berjudi (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. al Maidah: 90).

Ayat di atas secara tegas menunjukkan keharaman judi.

Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai 'suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu'. (Lihat: Rafiq al-Mishri, Al Maysir wal Qimar, hlm 27-32). Selain judi itu rijs yang berarti busuk, kotor, dan termasuk perbuatan setan, ia juga sangat berdampak negatif pada semua aspek kehidupan.

Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, moral, sampai budaya. Bahkan, pada gilirannya akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, setiap perbuatan yang melawan perintah Allah SWT pasti akan mendatangkan celaka. Perhatikan firman Allah SWT selanjutnya tentang efek negatif yang timbul dari judi:

''Sesungguhnya setan itu bermaksud permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).'' (QS. al Maidah: 91). 

Karena judi merupakan perbuatan setan, maka wajar jika kemudian muncul upaya-upaya untuk mengaburkan makna judi.

Sebab, salah satu tugas setan terdiri dari jin dan manusia adalah mengemas sesuatu yang batil (haram) dengan kemasan atau nama-nama yang indah, cantik, dan memiliki daya tarik, hingga tampak seakan-akan halal. 

Allah SWT berfirman, ''Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.'' (QS. al An'am: 112).

Juga perhatikan firman-Nya, ''Dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan keindahan apa yang selalu mereka kerjakan.'' (QS. al An'am: 43). 

Rasulullah SAW juga telah mensinyalir perbuatan setan yang demikian itu sebagai, ''Surga itu dikelilingi oleh sesuatu yang tidak menyenangkan, sedangkan mereka (setan) dikelilingi oleh sesuatu yang menyenangkan).'' (HR Bukhari-Muslim).

Menyadari esensi dan bahaya akibat judi itu, maka kita harus selalu waspada dengan berbagai kegiatan berkedok undian, padahal substansinya sebenarnya tetap saja judi. Akhirnya, hendaknya kita selalu mengingat bahwa setiap tetes darah, setiap daging dan tulang yang tumbuh dalam tubuh manusia, juga setiap pertumbuhan dan kemajuan bangsa ini di bidang apa pun, yang diperoleh dari judi dan pendapatan haram lainnya sesungguhnya hanya akan mendatangkan celaka. Bangsa ini tidak segera dapat keluar dari krisis berkepanjangan boleh jadi karena judi masih merajalela di negeri ini, yang mengakibatkan segala usaha dan upaya tidak dapat berkah dan ridla Ilahi. Wallahu a'lam.

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Talqin Mayit

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Ustadz, di tempat saya sejak dahulu selalu diadakan talqin mayit beberapa saat setelah mayit dimakamkan. Hanya saja akhir-akhir ini ada seseorang yang mengatakan bahwa talqin mayit setelah dimakamkan itu bid'ah dan tidak memberi manfaat apa pun terhadap mayit. Yang dijadikan dalil olehnya adalah firman Allah Swt dalam surat Fathir ayat 22:

وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍِ مَنْ فِي الْقُبُوْرِ
 "...Dan kamu (Muhammad) sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang berada di dalam kubur dapat mendengar."

Pertanyaan saya, benarkah talqin mayit itu bid'ah dan benarkah talqin itu tidak bermanfaat bagi mayit berdasarkan firman Allah di atas? (Junaidi, Palembang)

Jawaban:

Wa'alaikum Salam Warahmatullah Wabarakatuh

Semoga limpahan nikmat, rahmat dan berkah Allah senantiasa tercurah untuk Anda.

Sahabat, menurut para ulama, talqin itu terbagi dua. Pertama, talqin yang dilakukan kepada seseorang yang sedang mengalami naza’ atau sakarat al-mawt. Kedua, talqin yang dilaksanakan pada saat jenazah baru saja selesai dimakamkan. Kedua talqin ini memiliki landasan syar’i di dalam agama Islam.

Untuk talqin jenis pertama tidak perlu diuraikan di sini, karena tidak ada seorang pun dari kalangan umat ini yang mengatakannya sebagai bid’ah. Namun talqin jenis kedualah yang akhir-akhir ini begitu gencar dikatakan sebagai perbuatan bid’ah dengan dalil sebagaimana yang sahabat tuliskan dalam pertanyaan di atas.

Sesungguhnya talqin yang dilaksanakan ketika jenazah baru saja dimakamkan bukanlah perbuatan bid’ah, melainkan sunnah. Penjelasan tentang kesunnahan talqin ini telah disampaikan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar:

وَاَمَّا تَلْقِيْنُ الْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ فَقَدْ قَالَ جَمَاعَةٌ وَكَثِيْرٌ مِنْ اَصْحَابِنَا بِاسْتِحْبَابِهِ وَمِمَّنْ نَصَّ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ الْقَاضِى حُسَيْنٌ فِيْ تَعْلِيْقِهِ وَصَاحِبُهُ أَبُوْ سَعِيْدٍ الْمُتَوَلِّي فِي كِتَابِهِ التَّتِمَّةِ وَالشَّيْخُ اْلإِمَامُ أَبُو الْفَتْحِ نَصْرُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ الْمَقْدِسِيُّ وَاْلإِمَامُ أَبُو الْقَاسِمِ الرَّفِعِيُّ وَغَيْرُهُمْ وَنَقَلَهُ الْقَاضِي حُسَيْنٌ عَنِ اْلأَصْحَابِ

“Membaca talqin untuk mayit setelah dimakamkan adalah perbuatan sunnah. Ini adalah pendapat sekelompok ulama serta mayoritas ulama Syafi’iyah. Ulama yang mengatakan kesunnahan itu di antaranya adalah Qadhi Husain dalam Kitab Ta’liq-nya, sahabat beliau yang bernama Abu Said al-Mutawalli dalam kitabnya Tatimmah, Syaikh Imam Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi, Imam Abu al-Qasim al-Rafi’i, dan lainnya. Al-Qadhi Husain menyitir pendapat ini dari para sahabat.” (Al-Adzkar al-Nawawiyyah, 206).  

Ketika para ulama memfatwakan sunnah menalqin mayit sesaat setelah dikuburkan tentu saja mereka memiliki dalil yang menjadi landasannya. Hadits yang bersumber dari Abu Umamah ra berikut inilah yang menjadi landasannya. Silakan Anda simak dan semoga Allah memberikan kemudahan bagi Anda untuk memahaminya.

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ إِذَا أَنَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا. أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدٌ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلاَ يُجِيْبُ، ثُمَّ يَقُوْلُ: يَا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِيْ قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنَةَ، فَإِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشِدْنَا يَرْحَمْكَ اللهُ وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ، فَلْيَقُلْ: اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ. وَيَقُولُ: اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ. فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَإِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمَّهُ؟ قَالَ يَنْسِبُهُ إِلَى  أُمِّهِ حَوَّاءَ: يَا فُلاَنُ بْنُ حَوَّاءَ

“Dari Abu Umamah ra, ia berkata, “Jika aku kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah SAW memperlakukan orang-orang yang wafat di antara kita. Rasulullah SAW memerintahkan kita seraya bersabda, “Ketika di antara kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah di atas kuburannya, maka hendaklah salah seorang di antara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “Wahai Fulan bin Fulan”. Orang yang berada dalam kubur itu pasti mendengar apa yang kamu ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiri di kuburan) berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulan”, ketika itu juga mayit bangkit dan duduk di kuburannya. Orang yang berada di atas kuburan itu berkata lagi, “Wahai Fulan bin Fulan”, maka si mayit berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah senantiasa memberi rahmat kepadamu”. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasakan di sini). (Karena itu) hendaklah orang yang berdiri di atas kuburan itu berkata, “Ingatlah sewaktu engkau keluar ke alam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah hamba serta Rasul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridha menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, dan al-Qur’an sebagai imammu. (Setelah dibacakan talqin ini) malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk (untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah ra berkata, “Setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah SAW menjawab, “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada Ibu Hawa, “Wahai Fulan bin Hawa.” (HR Thabrani).
 
Berdasarkan hadits ini ulama Syafi’iyah, sebagian besar ulama Hanabilah, dan sebagian ulama Hanafiyah serta Malikiyah menyatakan bahwa  menalqini mayit adalah mustahab (sunnah).

Hadits ini memang termasuk hadist dhaif (lemah), akan tetapi ulama sepakat bahwa hadits dhaif masih bisa dijadikan pegangan untuk menjelaskan mengenai fadlail al- a’mal dan anjuran untuk beramal, selama tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat (hadits shahih dan hadits hasan lidzatih), dan juga tidak termasuk hadits yang matruk (ditinggalkan). Jadi tidak mengapa kita mengamalkannya.

Tentang hal ini Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani berkata:

وَالْحَدِيْثُ وَإِنْ كَانَ ضَعِيْفًا يُعْمَلُ بِهِ فِي فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ خُصُوْصًا وَقَدْ انْدَرَجَ تَحْتَ أَصْلٍ كُلِّيٍّ وَهُوَ نَفْعُ الْمُؤْمِنِ أَخَاهُ وَتَذْكِيْرُهُ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Sekalipun hadits (tentang talqin) tersebut merupakan hadits dhaif, namun dapat diamalkan dalam rangka fadhail al-a’mal. Lebih-lebih karena hadits tersebut masuk pada kategori prinsip yang universal, yakni usaha seorang Mukmin untuk membantu saudaranya, serta untuk memperingatkannya karena peringatan itu akan dapat bermanfaat bagi orang Mukmin.” (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, 111).

Selain itu, hadist ini juga diperkuat oleh hadist-hadits shahih seperti :


عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ

“Dari Utsman bin Affan, ia berkata, “Nabi SAW apabila telah selesai dari menguburkan mayit beliau berkata, “Mintakanlah ampunan untuk saudara kalian, dan mohonkanlah keteguhan untuknya, karena sesungguhnya sekarang ia sedang ditanya.” (HR Abu Dawud dan di-shahih-kan oleh Imam al-Hakim).

Juga hadits yang diriwayatkan Imam Muslim berikut ini:


وَعَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : إِذَا دَفَنْتُمُوْنِيْ ، فَأَقِيْمُوْا حَوْلَ قَبرِيْ قَدْرَ مَا تُنْحَرُ جَزُوْرٌ ، وَيُقَسَّمُ لَحْمُهَا، حَتىَّ أَسْتَأْنِسَ بِكُمْ ، وَأَعْلَمُ مَاذَا أُرَاجِعُ بِهِ رُسُلَ رَبِّيْ

Dari Amr bin al-Ash ra, katanya, “Jika kalian telah memakamkan aku, maka berdirilah di sekitar kuburku sekedar selama waktu menyembelih seekor unta lalu dibagi-bagikan dagingnya, sehingga aku dapat merasa tenang (puas) bertemu dengan kalian dan aku dapat memikirkan apa-apa yang akan aku jawab kepada utusan-utusan Tuhanku. (HR Muslim).

Semua hadits ini menunjukkan bahwa talqin mayit memiliki dasar yang kuat. Juga menunjukkan bahwa mayit bisa mendengar apa yang dikatakan penalqin dan merasa terhibur dengannya.

Salah satu ayat yang mendukung hadits di atas adalah firman Allah SWT:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 55).

Ayat ini memerintah kita untuk memberi peringatan secara mutlak tanpa mengkhususkan orang yang masih hidup. Karena mayit bisa mendengar perkataan penalqin, maka talqin bisa juga dikatakan peringatan bagi mayit, sebab salah satu tujuannya adalah mengingatkan mayit kepada Allah agar bisa menjawab pertanyaan malaikat kubur dan memang mayit di dalam kuburnya sangat membutuhkan peringatan tersebut. Jadi ucapan penalqin bukanlah ucapan sia-sia karena semua bentuk peringatan pasti bermanfaat bagi orang-orang Mukmin. 

Lalu, bagaimana kaitannya dengan firman Allah SWT yang menyatakan bahwa orang yang di dalam kubur tidak bisa mendengar, seperti pada ayat berikut:

 وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
“…Dan kamu (Muhammad) sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir [35]: 22). 

Ayat ini memang sering disalahtafsirkan oleh kelompok anti talqin dan mereka gunakan sebagai dalil untuk memfatwakan tidak berguna talqin yang disampaikan pada orang yang telah dikubur karena mereka tidak dapat mendengar. Namun pemahaman mereka itu tidak sejalan dengan tafsiran para mufassir. Orang yang berada di dalam kubur (man fil al-qubuur) yang disebutkan dalam ayat tersebut sesungguhnya adalah orang kafir. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Tafsir al-Khazin:


يَعْنِى الْكُفَّارَ شَبَّهَهُمْ بِاْلأَمْوَاتِ فِى الْقُبُوْرِ لِأَنَّهُمْ لاَ يُجِيْبُوْنَ إِذَا دُعُوْا

“Maksudnya adalah orang-orang kafir yang diserupakan orang mati karena sama-sama tidak menerima dakwah.” (Tafsir al-Khazin, Juz V, halaman 347).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang Mukmin di dalam kuburnya dapat mendengar suara orang yang menalqinnya atas izin dan kekuasaan Allah SWT. Kenyataan ini semakin kuat tatkala kita melihat kebiasaan Nabi SAW yang selalu mengucapkan salam tatkala berziarah kubur atau melewati kompleks pemakaman. Tentu saja Rasulullah SAW mengucapkan salam karena ahli kubur dapat mendengar ucapan salam itu. Jika tidak, tentulah perbuatan beliau itu akan sia-sia, dan adalah hal yang mustahil Rasulullah SAW melakukan amalan yang sia-sia. Kesimpulannya, pelaksanaan talqin adalah suatu amalan yang sejalan dengan syariat Islam, bahkan ia sunnah untuk dilakukan, baik saat seseorang sedang naza’ maupun pada saat mayit baru saja dimakamkan. Vonis bid’ah terhadap talqin tidaklah benar. Yang benar, talqin adalah sunnah, dan kita telah simak bersama dalil-dalilnya.

Demikianlah sahabat jawaban yang bisa saya sampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam.
Wassalam

Rabu, 26 November 2014

Antara Amanah dan Khianat

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Kata amanah seakar dengan kata iman. Ini berarti sikap amanah mempunyai korelasi erat dengan iman seseorang. Orang beriman pasti memiliki sifat amanah. Orang yang tidak amanah berarti tidak ada iman dalam dirinya, meskipun lidahnya menyatakan beriman. 

Allah berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.'' (QS 8: 27).

Sikap amanah harus diwujudkan dalam semua aspek kehidupan. Orang yang memegang amanah dituntut menjalankan dan menyampaikan kepada yang berhak menerimanya. 

Firman-Nya, ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil ....'' (QS 4: 58).

Memiliki sikap amanah penting dalam kegiatan muamalah. Sikap amanah yang dimiliki seseorang dapat dijadikan tolok ukur mengangkatnya menjalankan tugas tertentu. Sebaliknya, suatu urusan yang diserahkan kepada orang yang tidak amanah, maka urusan itu akan berantakan. Sebab, orang yang tidak amanah berarti ia tidak profesional menjalankan tugasnya.

Rasulullah SAW menjelaskan, ''Apabila amanah telah disia-siakan, tunggulah saat kehancurannya.'' Seorang sahabat bertanya, ''Ya Rasulullah, bagaimana maksud menyia-nyiakan amanah itu?'' Nabi menjawab, ''Yaitu menyerahkan suatu urusan ditangani oleh orang yang bukan ahlinya. Untuk itu tunggulah saat kehancuran urusan tersebut.'' (HR Bukhari).

Khianat merupakan lawan dari amanah. Sikap ini melekat pada orang yang kurang beriman. Sikap khianat merupakan ciri orang munafik yang diekspresikan dengan menyalahi janji dan apa yang telah dipercayakan kepadanya. Orang demikian digelari sebagai makhluk terburuk yang sangat dibenci Allah.

Allah berfirman, ''Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).'' (QS 8: 55-56).

Sikap khianat amat berbahaya bila berkembang dalam kehidupan suatu masyarakat. Sikap ini merugikan orang yang dikhianati dan pelakunya.

Apabila sikap khianat melekat pada seseorang, berarti saat itu telah lepas darinya sikap amanah. Sebab, antara amanah dan khianat tidak mungkin berkumpul pada saat bersamaan. 

Nabi bersabda, ''Tidak mungkin berkumpul iman dan kafir dalam hati seseorang, dan tidak mungkin pula berkumpul sifat jujur dan dusta padanya sekaligus, sebagaimana tidak mungkin berkumpul sifat khianat dan amanah padanya secara bersamaan.'' (HR Ahmad).

Sikap amanah harus dimiliki setiap individu, terutama para pemimpin. Dengan sikap amanah diharapkan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka dapat dijalankan dengan baik dan membawa kejayaan bangsa. Sebaliknya, apabila sikap khianat menjadi budaya, maka bangsa ini akan semakin terpuruk.Wallahu a'lam

Wassalam

Sunnah-Sunnah Wudhu

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i

Alhamdulillah, mari terlebih dahulu kita memuji Allah atas segala nikmat yang telah Dia limpahkan pada kita. Siang ini, kita akan mengkaji tentang sunnah-sunnah wudhu. Yang dimaksud sunnah-sunnah wudhu adalah segala yang disunnahkan saat kita berwudhu, yang apabila kita lakukan akan memperoleh pahala, sedangkan jika ditinggalkan tidak akan menyebabkan wudhu menjadi tidak sah. Keadaannya berbeda dengan fardhu wudhu yang wajib dilakukan, jika tidak maka akan menyebabkan wudhu menjadi tidak sah. 

Apakah sahabat sudah membaca penjelasan tentang fardhu wudhu di blog ini? Jika belum, saya sarankan agar sahabat juga membacanya karena mengetahuinya sangatlah penting. Silakan baca di sini penjelasan tentang fardhu wudhu.

Sahabat sekalian...
Para ulama menjelaskan kepada kita bahwa sunnah-sunnah wudhu itu ada sepuluh:

1. Membaca basmalah

Tentunya sahabat dah tahu donk apa yang dimaksud dengan basmalah. (Kalau nggak tahu mesti masuk TK lagi nih, masa sih kalah sama anak TK, hehehe). Basmalah adalah bacaan bismillaahirrahmaanirrahiim. Membaca basmalah saat berwudhu hukumnya adalah sunnah. Artinya, jika sahabat berwudhu tanpa membaca basmalah maka wudhu sahabat tetap sah, namun tentunya tidak memperoleh pahala kesunnahan membaca basmalah saat berwudhu.

Dalil kesunnahan membaca basmalah kala berwudhu adalah hadits yang bersumber dari Anas bin Malik ra. Beliau menceritakan bahwa suatu hari sebagian sahabat mencari air untuk berwudhu, namun mereka tidak menemukannya. Rasulullah Saw bersabda pada mereka, "Adakah di antara kalian yang membawa air?" Lalu salah seorang di antara sahabat mebawakan air di dalam bejana, dan beliau meletakkan kedua tangannya dalam bejana itu seraya bersabda, "Berwudhulah kalian dengan menyebut nama Allah (yakni, dengan membaca basmalah)..." Dan aku (Anas bin Malik ra) melihat air memancar dari sela-sela jari Rasulullah Saw, sehingga air itu mencukupi untuk dipakai berwudhu sekitar tujuh puluh orang sahabat." (HR Nasa'i dengan sanad jayyid)

2. Membasuh kedua telapak tangan
3. Berkumur
4. Menghirup air dengan hidung
5. Mengusap seluruh kepala

Sahabat sekalian, empat hal di atas juga termasuk sunnah dalam wudhu. Yang menjadi dalilnya adalah hadits yang bersumber dari Abdullah bin Zaid ra. Ceritanya begini. Abdullah bin Zaid ra ini pernah ditanya tentang cara berwudhu Rasulullah Saw. Ia kemudian meminta satu bejana air, lalu berwudhu untuk memperlihatkan bagaimana cara berwudhu Rasulullah Saw. 

Ia mengalirkan air dari bejana dan membasuh tangannya hingga tiga kali. Kemudian ia masukkan tangannya ke dalam bejana mengambil air untuk berkumur, menghisap air dengan hidungnya dan menyemprotkannya hingga tiga kali cidukan. Kemudian mengambil air lagi dan membasuh wajahnya sebanyak tiga kali. Kemudian memasuk tangannya hingga siku sebanyak dua kali. Selanjutnya ia mengambil air lagi lalu mengusapkannya ke kepalanya dari depan dua kali dan dari belakang satu kali. Kemudian membasuh kedua kakinya hingga mata kaki. (HR Bukhari dan Muslim)

6. Mengusap kedua telinga (bagian luar dan dalam)

Dalilnya adalah hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas ra yang menyatakan bahwa Nabi Saw (ketika berwudhu) mengusap (seluruh) kepalanya dan kedua telinganya, luar dan dalamnya. (HR Turmudzi, dan beliau menshahihkannya)

Dalam riwayat Imam Nasa'i disebutkan Nabi Saw mengusap kepala dan telinganya, bagian dalam dengan jari telunjuknya dan bagian luar dengan ibu jarinya.

Dalam riwayat Imam al Hakim yang bersumber dari Abdullah bin Zaid ra, disebutkan bahwa Rasulullah Saw berwudhu, lalu mengusap kedua telinganya dengan air baru yang bukan air bekas dipakai untuk mengusap kepalanya. Menurut al Hafizh al Dzhabi hadits ini berpredikat shahih.

7. Menyela-nyelai jenggot yang lebat

Yang menjadi dalil kesunnahan menyela-nyelai jenggot yang lebat adalah hadits yang bersumber dari Anas bin Malik ra, yang menegaskan bahwa Rasulullah Saw bila berwudhu beliau mengambil segayung air dan memasukkan ke dalam mulut, lalu menyela-nyelai jenggotnya dengan air itu. Kemudian beliau bersabda, "Demikianlah yang diperintahkan kepadaku oleh Tuhanku 'Azza wa Jalla." (HR Abu Dawud)

8. Menyela-nyelai jari-jari tangan dan kaki

Laqith bin Shabarah ra bercerita pada kita. Katanya, "Aku bertanya (kepada Rasulullah Saw), "Ya Rasulullah, jelaskanlah padaku perihal (tatacara) wudhu?" Beliau Saw bersabda, "Sempurnakanlah wudhu dan sela-selailah antara jari-jari, serta kuatkanlah dalam beristinsyaq (menghirup air dengan hidung), kecuali jika kamu berpuasa." (HR Abu Dawud dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Turmudzi)

9. Mendahulukan membasuh anggota badan yang kanan dari yang kiri

Ini perlu untuk diingat bahwa mendahulukan yang kanan dari yang kiri saat berwudhu hukumnya sunnah. Jadi tidaklah mengapa jika ada yang mendahulukan yang kiri, baru yang kanan. Hanya saja cara yang demikian akan menyebabkan pelakunya tidak mendapat tambahan pahala dari kesunnahan wudhu. 

Dalilnya adalah hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas ra. Tatkala menjelaskan sifat wudhu Nabi Saw, Ibnu Abbas ra mengatakan, "...Kemudian beliau mengambil seciduk air lalu membasuh tangan kanannya. Kemudian mengambil seciduk air untuk membasuh tangan kirinya. Kemudian mengusap kepalanya. Kemudian mengambil seciduk air yang terhampar di bawahnya dan membasuh kaki kanannya, lalu menciduk lagi guna membasuh kaki kirinya..." (HR Bukhari)

10. Menigakalikan basuhan dan berkesinambungan

Termasuk sunnah wudhu adalah menigakalikan basuhan saat berwudhu. Misalnya, membasuh tangan kanan 3x, selanjutnya tangan kiri 3x. Dan seterusnya. Menigakalikan yang demikian itu adalah sunnah.

Dalilnya adalah hadits yang bersumber dari Utsman ra yang berkata, "Maukah kalian aku perlihatkan cara berwudhu Rasulullah Saw?" Kemudian beliau berwudhu dan masing-masing anggota wudhu (dibasuh/diusap) sebanyak 3 kali. (HR Muslim)

Adapun yang dimaksud berkesinambungan adalah antara basuhan yang satu dengan yang lain tidak terpaut waktu yang lama. Misalnya, jika saat kita membasuh tangan kanan, maka sebelum kering basuhan pada tangan kanan itu hendaklah segera membasuh tangan yang kiri. Dan seterusnya. Jika antar basuhan itu terpaut lama maka kesunnahan wudhu tidak diperoleh. Sedangkan dalilnya adalah mencontoh cara wudhu Rasulullah Saw sebagaimana yang telah diinformasikan oleh para sahabat melalui hadits-hadits yang sudah saya paparkan di atas.

Mungkin sahabat bertanya, "Kok bisa 10 hal tersebut di atas dikatakan sebagai sunnah, tidak wajib; padahal para sahabat telah melihat bahwa Rasulullah Saw tatkala berwudhu melakukan semua itu?"

Begini sahabat. Para ulama ketika mengategorikan 10 hal di atas sebagai sunnah, bukan fardhu (wajib), tentu saja mengetahui apa yang sahabat katakan itu. Memang semua hadits yang menjadi dalil wudhu dari segi lahirnya menunjukkan wajib. Lalu, bagaimana ia menjadi tidak wajib? Yang menunjukkan tidak wajibnya adalah ayat wudhu pada surat al Maidah ayat 6 (lihat kembali penjelasan fardhu wudhu) yang telah menerangkan wajib-wajibnya wudhu. Dengan kata lain, di luar yang disebutkan pada ayat tersebut, ditambah niat dan tertib, adalah sunnah.

Hal yang tidak boleh dilupakan lagi dalam masalah wudhu ini adalah doa. Seusai wudhu kita disunnahkan untuk membaca doa. Berikut doanya:

Asyhadu allaa ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariikalah. Wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhuu wa rasuuluh. Allaahummaj'alnii minat tawwaabiina waj'alnii minal mutathahhiriin. Subhaanakallaahumma wa bihamdika, asyhadu allaa ilaaha illaa anta astaghfiruka wa atuubu ilaik.

(Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang suci. Maha Suci Engkau ya Allah, dengan segala puji bagi-Mu, aku bersaksi tiada Tuhan selain Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)

Sahabat sekalian. Demikianlah kajian singkat kita perihal sunnah-sunnah wudhu. Meskipun hal-hal yang dijelaskan di atas hukumnya sunnah, namun hendaklah tidak menganggapnya remeh dengan meninggalkannya. Karena sesungguhnya kesunnahan-kesunnahan itu jika kita amalkan, akan menambah kesempurnaan wudhu kita dan semakin memperbanyak fadhilah yang kita dapatkan dari wuhu yang kita lakukan. 

Semoga Allah Swt memberikan kekuatan kepada kita untuk mengamalkannya. Amiinnn...


Selasa, 25 November 2014

Tradisi Mitoni (Tingkepan)

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Semoga limpahan nikmat Allah senantiasa tercurah pada kita. Beberapa waktu yang lalu, saya sudah memposting kajian singkat seputar tradisi ngapati. Dah baca belum ya? Kalau sahabat belum baca, silakan baca di sini.

Sore ini, saya akan mengajak sahabat berbincang seputar tradisi lainnya yang masih berkaitan dengan kehamilan, yakni tradisi mitoni. Tradisi mitoni ini sering juga disebut dengan tingkepan. Apa bedanya dengan tradisi ngapati?

Sahabat, tradisi ngapati berkaitan dengan empat bulan kehamilan seorang wanita, sedangkan tradisi mitoni berhubungan dengan tujuh bulan masa kehamilan seorang wanita.

Seperti halnya tradisi ngapati, mitoni ini juga sering disalahpahami oleh sebagian orang, sehingga tanpa berat hati mereka memvonisnya haram, bid'ah, syirik dan para pelakunya akan masuk ke dalam neraka. Ngerii nggak tuhh..!??!

Tapi ndak perlu pusing dengan vonis-vonis semacam itu. Anggap saja bahwa hal itu keluar dari orang-orang yang memang belum mengkaji apa sebenarnya tradisi mitoni dan apa tujuan di balik pelaksanaan tradisi tersebut. 

Itulah sebabnya sore ini saya ingin mengajak sahabat membincangkan masalah ini, agar sahabat tidak ikut-ikutan menjadi 'ahli fatwa'.

Sahabat sekalian....

Kalau sahabat bertanya, "Adakah dalil yang menjadi landasan atau yang mengilhami lahirnya tradisi mitoni?"
Jawabnya, "Ya, ada."

Saat para ulama membiarkan suatu tradisi hidup di tengah masyarakat tentulah karena mereka tahu bahwa yang terjadi itu tidak mengapa dalam pandangan agama. Karena para ulama tentu tidak akan diam dan membiarkan sebuah tradisi yang haram hidup di tengah masyarakat. Demikian halnya dengan mitoni. Tradisi itu telah hidup dari generasi ke generasi dan di tengah setiap generasi itu ada para ulama yang menjadi saksi keberlangsungan tradisi tersebut.

Yang dijadikan landasan oleh para ulama untuk membolehkan tradisi mitoni adalah firman Allah Swt berikut:

"Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan daripadanya Dia menciptakan istrinya (Hawa) agar dia merasa senang kepadanya. Maka, setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung (dengan) kandungan yang ringan, dan teruslah dia mereka ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala ia merasa berbobot berat (kandungannya itu), maka keduanya (Adam dan Hawa) memohon kepada Allah, Tuhan mereka, seraya berkata, "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur." (QS. al A'raf: 189)

Jika sahabat menyimak ayat tersebut dengan teliti, maka kita akan temukan alasan mengapa tradisi mitoni itu bisa hidup di tengah kehidupan umat Islam di tanah Jawa.

Pada ayat tersebut ada kalimat, "...tatkala ia merasa berbobot berat (kandungannya itu),..." Tahukah sahabat mulai bulan keberapa kandungan seorang wanita itu terasa berbobot berat? (Belum tahu? Sana tanya dulu yang pernah hamil...heheheh...)

Jawabannya adalah tatkala memasuki usia kandungan tujuh bulan. Tujuh bulan dari masa hamil adalah saat kandungan terasa cukup berat hingga tiba saat melahirkan. Seorang wanita yang usia kehamilam memasukui bulan ketujuh akan sangat merasa berat, bahkan pinggangnya pun akan terasa sakit. Ini memang fase berat hingga paling berat saat melahirkan.

Pada kalimat berikutnya dari ayat di atas disebutkan, "...maka keduanya (Adam dan Hawa) memohon kepada Allah, Tuhan mereka..."

Artinya, Adam dan Hawa secara sengaja berdoa kepada Allah dan memohon agar dikaruniai anak yang saleh tatkala kehamilan Hawa terasa berat, yang itu terjadi pada bulan ketujuh dari masa kehamilan. 

Nah, apa yang dilakukan oleh Nabi Adam dan Bunda Hawa inilah yang menginspirasi umat Islam di tanah Jawa untuk melakukan tradisi mitoni. Dalam tradisi mitoni yang dilakukan adalah berdoa kepada Allah, memohon agar Allah memberikan kesehatan kepada si ibu maupun si calon bayi, juga agar Allah berkenan menjadikan si calon bayi kelak lahir ke dunia dalam keadaan selamat, menjadi anak yang saleh / salihah. Dalam tradisi itu pula dikeluarkan sedekah yang dengannya diharapkan Allah meridhai dan mengabulkan apa yang dimohonkan.

Dengan demikian tidaklah layak untuk memvonis haram, syirik atau bid'ah tradisi mitoni, karena tradisi tersebut tidak menyelisihi syariat Islam. 

Tentu saja jika kemudian pada saat pelaksanaan mitoni itu ada hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat Islam, itulah yang harus diluruskan dan diubah. Misalnya, saat mitoni harus mandi dengan air yang berasal dari 7 sumur, tidak boleh kurang meskipun hanya 1 sumur, karena diyakini jika kurang akan mengakibatkan petaka bagi si bayi. Keyakinan yang demikian ini tentu tidak boleh. Itu harus kita ubah dan diluruskan. Yang diubah bukan masalah pada air yang berasal dari 7 sumur, namun keyakinan bahwa itu wajib dan akan mendapat bencana jika kurang dari 7 sumur.

Namun demikian, jangan sampai kita terburu-buru memvonis syirik dan haram tradisi mitoni hanya karena persoalan seperti yang dijelaskan di atas. Saat ini umat Islam di tanah Jawa sudah memahami mana yang syirik dan mana yang tidak. Sehingga pada saat pelaksanaan mitoni hanya diisi dengan doa dan sedekah, tanpa mandi 7 sumur. Kalau pun ada yang masih melaksanakan mandi dengan air 7 sumur, maka itu dipandang hanya sebagai sebuah tradisi tanpa disertai di dalamnya keyakinan wajibnya dan mendapat bencana bila tidak dilaksanakan. 
 
Oleh karena itu, selayaknya kita memilih mana tradisi yang tidak menyelisihi syariat Islam dan mana yang meyelisihinya. Jika ada yang menyelisihi syariat Islam, harus diluruskan sesuai dengan syariat Islam.  

Demikianlah sahabatku kajian singkat kita tentang tradisi mitoni. Semoga bermanfaat dan membuka wawasan kita betapa indahnya budaya yang dihasilkan oleh makhuluk Allah bernama manusia ini. 

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh 

Bolehkah Menyentuh Al Qur'an Orang Yang Berhadats?

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Ustadz, saya mau bertanya tentang hukum orang yang sedang berhadats menyentuh al Qur'an. Bolehkah yang demikian itu? Mhn keterangannya Ustadz. Tks. Wassalam. (Maftuh, Klaten)

Jawaban:

Wa'alaikum salam Warahmatullah Wabarakatuh

Semoga hari-harimu saudaraku senantiasa dalam bimbingan petunjuk Allah. Adapun jawaban bagi pertanyaan yang Anda ajukan adalah firman Allah Swt :

"Tidak boleh menyentuh al Qur'an kecuali orang-orang yang suci. Yang diturunkan dari Tuhan semesta alam." (QS. al Waqi'ah: 79-80)

Ayat di atas adalah dasar yang dipegang oleh para ulama untuk memfatwakan bahwa haram hukumnya menyentuh al Qur'an bagi orang yang tidak suci (baca: dalam keadaan berhadats).

Fatwa yang demikian ini, misalnya, bisa kita temukan di dalam kitab Fath al Mu'in, 10. Di sana Syaikh Zainuddin al Malibari berkata, "Haram sebab hadats kecil, melakukan thawaf, sujud (tilawah dan syukur), membawa mushhaf dan menyentuh kertas yang padanya dituliskan ayat al Qur'an, meskipun hanya sebagian ayat."

Mungkin saudaraku pernah mendengar fatwa sebagian orang yang mengatakan bahwa yang tidak boleh disentuh pada firman Allah di atas adalah al Qur'an yang ada di lauh mahfuzh, bukan yang ada di dunia ini. 

Untuk menjawab fatwa itu, mari kita simak penjelasan Syaikh Ibnu Taimiyah, yang dikutip oleh Syaikh Muhammad Ali al Shabuni dalam kitabnya Rawa-i' al Bayan fi Tafsir Ayat al Ahkam (Juz 1/507) berikut ini:

"Tentang hukum syar'i ini, Ibnu Taimiyah berdalil dengan cara yang sangat halus. Beliau berkata, "Ayat tersebut menunjukkan hukum (keharaman menyentuh al Qur'an bagi orang yang tidak punya wudhu) dengan jalan isyarah. Jika Allah Swt menyebutkan bahwa mushhaf yang suci itu tidak dapat disentuh kecuali orang-orang yang suci (malaikat), maka begitu pula mushhaf yang ada di hadapan kita tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci (dari hadats)." (Syaikh Muhammad Ali al Shabuni berkata) Saya berpendapat bahwa inilah pendapat yang benar dan harus diikuti. Yakni, pendapat yang disepakati oleh mayoritas ulama tentang haramnya menyentuh mushhaf yang mulia ini dalam keadaan tidak suci."

Fatwa keharaman ini lebih kuat lagi dengan adanya riwayat berikut:

"Dari Abu Bakar bin Muhammad, ia berkata, "Sesungguhnya Rasulullah Saw pernah menulis surat kepada penduduk Yaman agar tidak menyentuh al Qur'an kecuali orang yang suci (dalam keadaan wudhu)." (HR Darimi)

Saudaraku, setelah membaca penjelasan di atas, maka kesimpulan yang bisa saya berikan adalah bahwa yang diizinkan (dibolehkan) menyentuh al Qur'an hanyalah orang-orang yang dalam keadaan suci (wudhu), bebas dari hadats kecil maupun besar. Tentu saja ada pengecualiannya, yakni bagi anak keci (belum baligh), untuk keperluan belajar, atau karena adanya uzur lainnya yang dibenarkan secara syar'i.

Demikian jawaban yang bisa saya berikan. Semoga Allah memberkahi kita dengan rahmat-Nya. (Wallahu a'lam)

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Senin, 24 November 2014

Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Yuk kita simak lagi biografi ulama. Saat ini saya akan tuliskan biografi Habib Syech. Semoga ada manfaat dan hikmah yang bisa kita petik dari perjalanan hidup beliau. 


Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf adalah salah satu putra dari 16 bersaudara putra-putri Alm Al-Habib Abdulkadir bin Abdurrahman Assegaf ( tokoh alim dan imam Masjid Jami’ Asegaf di Pasar Kliwon Solo).

Berawal dari pendidikan yang diberikan oleh guru besarnya yang sekaligus ayahhanda tercinta, Habib Syech mendalami ajaran agama dan Akhlaq leluhurnya.


Berlanjut sambung pendidikan tersebut oleh paman beliau Alm. Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf yang datang dari Hadramaout.


Habib Syech juga mendapat pendidikan, dukungan penuh dan perhatian dari Alm. Al-Imam, Al-Arifbillah, Al-Habib Muhammad Anis bin Alwiy Al-Habsyi (Imam Masjid Riyadh dan pemegang magom Al-Habsyi). Berkat segala bimbingan, nasehat, serta kesabaranya, Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf menapaki hari untuk senantiasa melakukan Syiar Cinta Rasul yang diawali dari Kota Solo.


Waktu demi waktu berjalan mengiringi Syiar Cinta Rasulnya, tanpa disadari banyak umat yang tertarik dan mengikuti majelisnya, hingga saat ini telah ada ribuan jama’ah yang tergabung dalam Ahbabul Musthofa. Mereka mengikuti dan mendalami tetang pentingnya Cinta kepada Rosul SAW dalam kehidupan ini.


Ahbabul Musthofa, adalah salah satu dari beberapa majelis yang ada untuk mempermudah umat dalam memahami dan mentauladani Rasul SAW, berdiri sekitar Tahun 1998 di kota Solo, tepatnya Kampung Mertodranan, berawal dari majelis Rotibul Haddad dan Burdah serta maulid Simthut Duror Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf memulai langkahnya untuk mengajak ummat dan dirinya dalam membesarkan rasa cinta kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW .


Sampai sekarang, Habib Syech masih melantunkan syair-syair indah nan menggetarkan hati Sholawat Shimthud Durror di berbagai tempat, untuk di Jogja setiap malam Jumat Pahing di IAIN SUKA, Timoho.


Sholawat Rutin :
setiap hari Rabu Malam dan Sabtu Malam Ba’da Isyak di Kediaman Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf .

Pengajian Rutin Selapanan Ahbabul Musthofa:
– Purwodadi ( Malam Sabtu Kliwon ) di Masjid Agung Baitul Makmur Purwodadi.
– Kudus ( Malam Rabu Pahing ) di Halaman Masjid Agung Kudus.
– Jepara ( Malam Sabtu Legi ) di Halaman Masjid Agung Jepara .
– Sragen ( Malam Minggu Pahing ) di Masjid Assakinah, Puro Asri, Sragen.
– Jogja ( Malam Jum’at Pahing ) di Halaman PP. Minhajuttamyiz, Timoho, di belakang Kampus IAIN.
– Solo ( Malam Minggu Legi ) di Halaman Mesjid Agung Surakarta.

Jangan hanya main band meniru dan mengidolakan gaya orang-orang kafir, tapi Nabi sendiri tidak pernah ditiru dan dipuji puji! Sudah saatnya bersholawat, menjunjung, memuji dan meniru Nabi Muhammad SAW agar memperoleh syafaatnya dan beliau mengakui kita sebagai umatnya, karena percuma saja kita yg mengaku ngaku umatnya, tapi tidak pernah bersholawat. 
Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Fardhu Wudhu

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Alhamdulillah, pagi ini Allah masih memberikan kekuatan bagi kita untuk menjalani aktivitas hidup. Semoga Allah senantiasa membimbing kita dengan petunjuk-Nya sehingga selamat dari tipu daya setan yang tak pernah menyerah untuk menjerumuskan manusia.

Sahabat, pagi ini kita akan mengkaji tentang fardhu wudhu. Tahukah sahabat apakah fardhu wudhu itu? Secara sederhana bisa dikatakan fardhu wudhu adalah hal-hal yang harus dilakukan saat kita melaksanakan wudhu. Harus dilakukan, artinya tidak boleh ditinggalkan. Jika ada satu saja di antara fardhu wudhu itu yang ditinggalkan atau tertinggal, maka wudhunya menjadi tidak sah. Nah, di sinilah titik penting mengapa kita harus mengetahui fardhu-fardhu wudhu.

Para ulama ahli fiqih telah merumuskan bahwa fardhu wudhu itu ada enam, yakni:

1. Niat ketika membasuh wajah
2. Membasuh wajah.
3. Membasuh kedua tangan hingga siku.
4. Mengusap sebagian kepala.
5. Membasuh kedua kaki hingga mata kaki.
6. Tertib, yakni sesuai urutan yang ada.

Keterangan

Sahabat sekalian, setiap ibadah yang ada dalam syariat Islam tentu memiliki dalil. Demikian halnya dengan wudhu. Dalil disyariatkannya wudhu dan wajibnya melaksanakan wudhu sebelum menunaikan shalat adalah firman Allah Swt:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu hingga siku, dan sapulah (usaplah) kepalamu dan (basuhlah) kakiu sampai kedua mata kaki." (QS. al Baqarah: 6)

Penting untuk kita ketahui bahwa kedua siku dan mata kaki termasuk anggota tubuh yang wajib dibasuh saat berwudhu. Jika kedua bagian tersebut tidak terbasuh saat berwudhu, maka wudhunya tidak sah.

Abu Hurairah ra pernah berwudhu. Dalam wudhu tersebut ia membasuh mukanya dan menyempurnakan (basuhan) wudhunya. Kemudian membasuh tangannya yang kanan hingga pada lengan atasnya. Dan membasuh tangan kirinya hingga lengan atasnya. Kemudian mengusap kepalanya dan membasuh kaki kanan hingga betisnya. Kemudian juga membasuh kaki kirinya hingga betis. Kemudian ia berkata, "Demikianlah aku melihat Rasulullah Saw berwudhu." (HR Muslim)

Di dalam al Qur'an surat al Baqarah ayat 6, terdapat kalimat: biru-uusikum. Maknanya adalah bagian dari kepala. Makna yang demikian itu didasarkan pada apa yang dikatakan oleh al Mughirah ra, "Sesungguhnya Rasulullah Saw berwudhu, lalu mengusap ubun-ubunnya dan mengusap sorbannya."(HR Muslim dan lain-lain)

Mungkin sahabat bertanya, "Apakah ubun-ubun itu termasuk kepala?"

Ya, betul. Ubun-ubun berada di bagian depan kepala, dan ia termasuk bagian dari kepala. Di dalam riwayat al Mughirah ra di atas disebut bahwa Rasulullah Saw mengusap ubun-ubunnya. Hal ini menunjukkan bahwa mengusap sebagian dari kepala adalah fardhu, dan yang diusap itu bisa bagian mana saja, asalkan masih termasuk bagian kepala.

Ada pun yang berkaitan dengan kefardhuan niat, dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw:

"Bahwasanya segala amal (harus disertai) niat." (HR Bukhari dan Muslim)

Makna dari hadits tersebut adalah secara syara' suatu amal tidak dipandang sah bila tidak disertai niat. Oleh karena wajib berniat saat kita melaksanakan wudhu. Bila tidak, maka wudhunya tidak sah.

Sedangkan dalil wajibnya tertib (berurutan dalam membasuh/mengusap anggota wudhu) adalah perbuatan Nabi Saw yang banyak dijelaskan dalam hadits-hadits shahih, di antaranya sebagamana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra di atas.

Untuk melengkapi keterangan yang sudah saya sampaikan, mari kita simak penjelasan Imam Nawawi dalam al Majmu'. Beliau berkata, "Dari as Sunnah para ulama madzhab Syafi'i berhujjah dengan beberapa hadits shahih yang diambil dari riwayat-riwayat beberapa golongan sahabat yang menjelaskan sifat wudhu Rasulullah Saw semuanya meriwayatkan akan tertibnya wudhu Rasulullah Saw. Dalam periwayatan mereka tidak terdapat satu riwayat pun yang menegaskan tidak tertibnya wudhu beliau, walaupun dalam hal-hal yang lain (seperti usapan/basuhan) terdapat perbedaan. Apa yang dilakukan oleh Nabi Saw adalah penjelasan terhadap wudhu yang diperintahkan. Seandainya tertib itu boleh ditinggalkan tentulah sekali waktu beliau meninggalkan tertib itu untuk menjelaskan akan kebolehannya, sepertinya halnya beliau meninggalkan pengulangan (basuhan/usapan) di beberapa kesempatan." (al Majmu': 1/484).

Demikianlah sahabat penjelasan berkaitan dengan fardhu wudhu. Semoga bermanfaat.

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh