Assalamu'alaikum..., selamat datang di Blok Kajian Fiqih Syafi'i. Semoga sahabat memperoleh manfaat dari blog ini. Mohon klik LIKE pada Facebook kami dan pada postingan-postingan kami ya, supaya ramai. Jika berminat dengan buku-buku Aswaja, silakan klik pada link Toko Buku Aswaja. Semoga limpahan barakah Allah selalu tercurah pada kita semua. Amiin...

Rabu, 26 November 2014

Antara Amanah dan Khianat

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Kata amanah seakar dengan kata iman. Ini berarti sikap amanah mempunyai korelasi erat dengan iman seseorang. Orang beriman pasti memiliki sifat amanah. Orang yang tidak amanah berarti tidak ada iman dalam dirinya, meskipun lidahnya menyatakan beriman. 

Allah berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.'' (QS 8: 27).

Sikap amanah harus diwujudkan dalam semua aspek kehidupan. Orang yang memegang amanah dituntut menjalankan dan menyampaikan kepada yang berhak menerimanya. 

Firman-Nya, ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil ....'' (QS 4: 58).

Memiliki sikap amanah penting dalam kegiatan muamalah. Sikap amanah yang dimiliki seseorang dapat dijadikan tolok ukur mengangkatnya menjalankan tugas tertentu. Sebaliknya, suatu urusan yang diserahkan kepada orang yang tidak amanah, maka urusan itu akan berantakan. Sebab, orang yang tidak amanah berarti ia tidak profesional menjalankan tugasnya.

Rasulullah SAW menjelaskan, ''Apabila amanah telah disia-siakan, tunggulah saat kehancurannya.'' Seorang sahabat bertanya, ''Ya Rasulullah, bagaimana maksud menyia-nyiakan amanah itu?'' Nabi menjawab, ''Yaitu menyerahkan suatu urusan ditangani oleh orang yang bukan ahlinya. Untuk itu tunggulah saat kehancuran urusan tersebut.'' (HR Bukhari).

Khianat merupakan lawan dari amanah. Sikap ini melekat pada orang yang kurang beriman. Sikap khianat merupakan ciri orang munafik yang diekspresikan dengan menyalahi janji dan apa yang telah dipercayakan kepadanya. Orang demikian digelari sebagai makhluk terburuk yang sangat dibenci Allah.

Allah berfirman, ''Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).'' (QS 8: 55-56).

Sikap khianat amat berbahaya bila berkembang dalam kehidupan suatu masyarakat. Sikap ini merugikan orang yang dikhianati dan pelakunya.

Apabila sikap khianat melekat pada seseorang, berarti saat itu telah lepas darinya sikap amanah. Sebab, antara amanah dan khianat tidak mungkin berkumpul pada saat bersamaan. 

Nabi bersabda, ''Tidak mungkin berkumpul iman dan kafir dalam hati seseorang, dan tidak mungkin pula berkumpul sifat jujur dan dusta padanya sekaligus, sebagaimana tidak mungkin berkumpul sifat khianat dan amanah padanya secara bersamaan.'' (HR Ahmad).

Sikap amanah harus dimiliki setiap individu, terutama para pemimpin. Dengan sikap amanah diharapkan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka dapat dijalankan dengan baik dan membawa kejayaan bangsa. Sebaliknya, apabila sikap khianat menjadi budaya, maka bangsa ini akan semakin terpuruk.Wallahu a'lam

Wassalam

Sunnah-Sunnah Wudhu

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i

Alhamdulillah, mari terlebih dahulu kita memuji Allah atas segala nikmat yang telah Dia limpahkan pada kita. Siang ini, kita akan mengkaji tentang sunnah-sunnah wudhu. Yang dimaksud sunnah-sunnah wudhu adalah segala yang disunnahkan saat kita berwudhu, yang apabila kita lakukan akan memperoleh pahala, sedangkan jika ditinggalkan tidak akan menyebabkan wudhu menjadi tidak sah. Keadaannya berbeda dengan fardhu wudhu yang wajib dilakukan, jika tidak maka akan menyebabkan wudhu menjadi tidak sah. 

Apakah sahabat sudah membaca penjelasan tentang fardhu wudhu di blog ini? Jika belum, saya sarankan agar sahabat juga membacanya karena mengetahuinya sangatlah penting. Silakan baca di sini penjelasan tentang fardhu wudhu.

Sahabat sekalian...
Para ulama menjelaskan kepada kita bahwa sunnah-sunnah wudhu itu ada sepuluh:

1. Membaca basmalah

Tentunya sahabat dah tahu donk apa yang dimaksud dengan basmalah. (Kalau nggak tahu mesti masuk TK lagi nih, masa sih kalah sama anak TK, hehehe). Basmalah adalah bacaan bismillaahirrahmaanirrahiim. Membaca basmalah saat berwudhu hukumnya adalah sunnah. Artinya, jika sahabat berwudhu tanpa membaca basmalah maka wudhu sahabat tetap sah, namun tentunya tidak memperoleh pahala kesunnahan membaca basmalah saat berwudhu.

Dalil kesunnahan membaca basmalah kala berwudhu adalah hadits yang bersumber dari Anas bin Malik ra. Beliau menceritakan bahwa suatu hari sebagian sahabat mencari air untuk berwudhu, namun mereka tidak menemukannya. Rasulullah Saw bersabda pada mereka, "Adakah di antara kalian yang membawa air?" Lalu salah seorang di antara sahabat mebawakan air di dalam bejana, dan beliau meletakkan kedua tangannya dalam bejana itu seraya bersabda, "Berwudhulah kalian dengan menyebut nama Allah (yakni, dengan membaca basmalah)..." Dan aku (Anas bin Malik ra) melihat air memancar dari sela-sela jari Rasulullah Saw, sehingga air itu mencukupi untuk dipakai berwudhu sekitar tujuh puluh orang sahabat." (HR Nasa'i dengan sanad jayyid)

2. Membasuh kedua telapak tangan
3. Berkumur
4. Menghirup air dengan hidung
5. Mengusap seluruh kepala

Sahabat sekalian, empat hal di atas juga termasuk sunnah dalam wudhu. Yang menjadi dalilnya adalah hadits yang bersumber dari Abdullah bin Zaid ra. Ceritanya begini. Abdullah bin Zaid ra ini pernah ditanya tentang cara berwudhu Rasulullah Saw. Ia kemudian meminta satu bejana air, lalu berwudhu untuk memperlihatkan bagaimana cara berwudhu Rasulullah Saw. 

Ia mengalirkan air dari bejana dan membasuh tangannya hingga tiga kali. Kemudian ia masukkan tangannya ke dalam bejana mengambil air untuk berkumur, menghisap air dengan hidungnya dan menyemprotkannya hingga tiga kali cidukan. Kemudian mengambil air lagi dan membasuh wajahnya sebanyak tiga kali. Kemudian memasuk tangannya hingga siku sebanyak dua kali. Selanjutnya ia mengambil air lagi lalu mengusapkannya ke kepalanya dari depan dua kali dan dari belakang satu kali. Kemudian membasuh kedua kakinya hingga mata kaki. (HR Bukhari dan Muslim)

6. Mengusap kedua telinga (bagian luar dan dalam)

Dalilnya adalah hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas ra yang menyatakan bahwa Nabi Saw (ketika berwudhu) mengusap (seluruh) kepalanya dan kedua telinganya, luar dan dalamnya. (HR Turmudzi, dan beliau menshahihkannya)

Dalam riwayat Imam Nasa'i disebutkan Nabi Saw mengusap kepala dan telinganya, bagian dalam dengan jari telunjuknya dan bagian luar dengan ibu jarinya.

Dalam riwayat Imam al Hakim yang bersumber dari Abdullah bin Zaid ra, disebutkan bahwa Rasulullah Saw berwudhu, lalu mengusap kedua telinganya dengan air baru yang bukan air bekas dipakai untuk mengusap kepalanya. Menurut al Hafizh al Dzhabi hadits ini berpredikat shahih.

7. Menyela-nyelai jenggot yang lebat

Yang menjadi dalil kesunnahan menyela-nyelai jenggot yang lebat adalah hadits yang bersumber dari Anas bin Malik ra, yang menegaskan bahwa Rasulullah Saw bila berwudhu beliau mengambil segayung air dan memasukkan ke dalam mulut, lalu menyela-nyelai jenggotnya dengan air itu. Kemudian beliau bersabda, "Demikianlah yang diperintahkan kepadaku oleh Tuhanku 'Azza wa Jalla." (HR Abu Dawud)

8. Menyela-nyelai jari-jari tangan dan kaki

Laqith bin Shabarah ra bercerita pada kita. Katanya, "Aku bertanya (kepada Rasulullah Saw), "Ya Rasulullah, jelaskanlah padaku perihal (tatacara) wudhu?" Beliau Saw bersabda, "Sempurnakanlah wudhu dan sela-selailah antara jari-jari, serta kuatkanlah dalam beristinsyaq (menghirup air dengan hidung), kecuali jika kamu berpuasa." (HR Abu Dawud dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Imam Turmudzi)

9. Mendahulukan membasuh anggota badan yang kanan dari yang kiri

Ini perlu untuk diingat bahwa mendahulukan yang kanan dari yang kiri saat berwudhu hukumnya sunnah. Jadi tidaklah mengapa jika ada yang mendahulukan yang kiri, baru yang kanan. Hanya saja cara yang demikian akan menyebabkan pelakunya tidak mendapat tambahan pahala dari kesunnahan wudhu. 

Dalilnya adalah hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas ra. Tatkala menjelaskan sifat wudhu Nabi Saw, Ibnu Abbas ra mengatakan, "...Kemudian beliau mengambil seciduk air lalu membasuh tangan kanannya. Kemudian mengambil seciduk air untuk membasuh tangan kirinya. Kemudian mengusap kepalanya. Kemudian mengambil seciduk air yang terhampar di bawahnya dan membasuh kaki kanannya, lalu menciduk lagi guna membasuh kaki kirinya..." (HR Bukhari)

10. Menigakalikan basuhan dan berkesinambungan

Termasuk sunnah wudhu adalah menigakalikan basuhan saat berwudhu. Misalnya, membasuh tangan kanan 3x, selanjutnya tangan kiri 3x. Dan seterusnya. Menigakalikan yang demikian itu adalah sunnah.

Dalilnya adalah hadits yang bersumber dari Utsman ra yang berkata, "Maukah kalian aku perlihatkan cara berwudhu Rasulullah Saw?" Kemudian beliau berwudhu dan masing-masing anggota wudhu (dibasuh/diusap) sebanyak 3 kali. (HR Muslim)

Adapun yang dimaksud berkesinambungan adalah antara basuhan yang satu dengan yang lain tidak terpaut waktu yang lama. Misalnya, jika saat kita membasuh tangan kanan, maka sebelum kering basuhan pada tangan kanan itu hendaklah segera membasuh tangan yang kiri. Dan seterusnya. Jika antar basuhan itu terpaut lama maka kesunnahan wudhu tidak diperoleh. Sedangkan dalilnya adalah mencontoh cara wudhu Rasulullah Saw sebagaimana yang telah diinformasikan oleh para sahabat melalui hadits-hadits yang sudah saya paparkan di atas.

Mungkin sahabat bertanya, "Kok bisa 10 hal tersebut di atas dikatakan sebagai sunnah, tidak wajib; padahal para sahabat telah melihat bahwa Rasulullah Saw tatkala berwudhu melakukan semua itu?"

Begini sahabat. Para ulama ketika mengategorikan 10 hal di atas sebagai sunnah, bukan fardhu (wajib), tentu saja mengetahui apa yang sahabat katakan itu. Memang semua hadits yang menjadi dalil wudhu dari segi lahirnya menunjukkan wajib. Lalu, bagaimana ia menjadi tidak wajib? Yang menunjukkan tidak wajibnya adalah ayat wudhu pada surat al Maidah ayat 6 (lihat kembali penjelasan fardhu wudhu) yang telah menerangkan wajib-wajibnya wudhu. Dengan kata lain, di luar yang disebutkan pada ayat tersebut, ditambah niat dan tertib, adalah sunnah.

Hal yang tidak boleh dilupakan lagi dalam masalah wudhu ini adalah doa. Seusai wudhu kita disunnahkan untuk membaca doa. Berikut doanya:

Asyhadu allaa ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariikalah. Wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhuu wa rasuuluh. Allaahummaj'alnii minat tawwaabiina waj'alnii minal mutathahhiriin. Subhaanakallaahumma wa bihamdika, asyhadu allaa ilaaha illaa anta astaghfiruka wa atuubu ilaik.

(Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang suci. Maha Suci Engkau ya Allah, dengan segala puji bagi-Mu, aku bersaksi tiada Tuhan selain Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu)

Sahabat sekalian. Demikianlah kajian singkat kita perihal sunnah-sunnah wudhu. Meskipun hal-hal yang dijelaskan di atas hukumnya sunnah, namun hendaklah tidak menganggapnya remeh dengan meninggalkannya. Karena sesungguhnya kesunnahan-kesunnahan itu jika kita amalkan, akan menambah kesempurnaan wudhu kita dan semakin memperbanyak fadhilah yang kita dapatkan dari wuhu yang kita lakukan. 

Semoga Allah Swt memberikan kekuatan kepada kita untuk mengamalkannya. Amiinnn...


Selasa, 25 November 2014

Tradisi Mitoni (Tingkepan)

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Semoga limpahan nikmat Allah senantiasa tercurah pada kita. Beberapa waktu yang lalu, saya sudah memposting kajian singkat seputar tradisi ngapati. Dah baca belum ya? Kalau sahabat belum baca, silakan baca di sini.

Sore ini, saya akan mengajak sahabat berbincang seputar tradisi lainnya yang masih berkaitan dengan kehamilan, yakni tradisi mitoni. Tradisi mitoni ini sering juga disebut dengan tingkepan. Apa bedanya dengan tradisi ngapati?

Sahabat, tradisi ngapati berkaitan dengan empat bulan kehamilan seorang wanita, sedangkan tradisi mitoni berhubungan dengan tujuh bulan masa kehamilan seorang wanita.

Seperti halnya tradisi ngapati, mitoni ini juga sering disalahpahami oleh sebagian orang, sehingga tanpa berat hati mereka memvonisnya haram, bid'ah, syirik dan para pelakunya akan masuk ke dalam neraka. Ngerii nggak tuhh..!??!

Tapi ndak perlu pusing dengan vonis-vonis semacam itu. Anggap saja bahwa hal itu keluar dari orang-orang yang memang belum mengkaji apa sebenarnya tradisi mitoni dan apa tujuan di balik pelaksanaan tradisi tersebut. 

Itulah sebabnya sore ini saya ingin mengajak sahabat membincangkan masalah ini, agar sahabat tidak ikut-ikutan menjadi 'ahli fatwa'.

Sahabat sekalian....

Kalau sahabat bertanya, "Adakah dalil yang menjadi landasan atau yang mengilhami lahirnya tradisi mitoni?"
Jawabnya, "Ya, ada."

Saat para ulama membiarkan suatu tradisi hidup di tengah masyarakat tentulah karena mereka tahu bahwa yang terjadi itu tidak mengapa dalam pandangan agama. Karena para ulama tentu tidak akan diam dan membiarkan sebuah tradisi yang haram hidup di tengah masyarakat. Demikian halnya dengan mitoni. Tradisi itu telah hidup dari generasi ke generasi dan di tengah setiap generasi itu ada para ulama yang menjadi saksi keberlangsungan tradisi tersebut.

Yang dijadikan landasan oleh para ulama untuk membolehkan tradisi mitoni adalah firman Allah Swt berikut:

"Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan daripadanya Dia menciptakan istrinya (Hawa) agar dia merasa senang kepadanya. Maka, setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung (dengan) kandungan yang ringan, dan teruslah dia mereka ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala ia merasa berbobot berat (kandungannya itu), maka keduanya (Adam dan Hawa) memohon kepada Allah, Tuhan mereka, seraya berkata, "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur." (QS. al A'raf: 189)

Jika sahabat menyimak ayat tersebut dengan teliti, maka kita akan temukan alasan mengapa tradisi mitoni itu bisa hidup di tengah kehidupan umat Islam di tanah Jawa.

Pada ayat tersebut ada kalimat, "...tatkala ia merasa berbobot berat (kandungannya itu),..." Tahukah sahabat mulai bulan keberapa kandungan seorang wanita itu terasa berbobot berat? (Belum tahu? Sana tanya dulu yang pernah hamil...heheheh...)

Jawabannya adalah tatkala memasuki usia kandungan tujuh bulan. Tujuh bulan dari masa hamil adalah saat kandungan terasa cukup berat hingga tiba saat melahirkan. Seorang wanita yang usia kehamilam memasukui bulan ketujuh akan sangat merasa berat, bahkan pinggangnya pun akan terasa sakit. Ini memang fase berat hingga paling berat saat melahirkan.

Pada kalimat berikutnya dari ayat di atas disebutkan, "...maka keduanya (Adam dan Hawa) memohon kepada Allah, Tuhan mereka..."

Artinya, Adam dan Hawa secara sengaja berdoa kepada Allah dan memohon agar dikaruniai anak yang saleh tatkala kehamilan Hawa terasa berat, yang itu terjadi pada bulan ketujuh dari masa kehamilan. 

Nah, apa yang dilakukan oleh Nabi Adam dan Bunda Hawa inilah yang menginspirasi umat Islam di tanah Jawa untuk melakukan tradisi mitoni. Dalam tradisi mitoni yang dilakukan adalah berdoa kepada Allah, memohon agar Allah memberikan kesehatan kepada si ibu maupun si calon bayi, juga agar Allah berkenan menjadikan si calon bayi kelak lahir ke dunia dalam keadaan selamat, menjadi anak yang saleh / salihah. Dalam tradisi itu pula dikeluarkan sedekah yang dengannya diharapkan Allah meridhai dan mengabulkan apa yang dimohonkan.

Dengan demikian tidaklah layak untuk memvonis haram, syirik atau bid'ah tradisi mitoni, karena tradisi tersebut tidak menyelisihi syariat Islam. 

Tentu saja jika kemudian pada saat pelaksanaan mitoni itu ada hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat Islam, itulah yang harus diluruskan dan diubah. Misalnya, saat mitoni harus mandi dengan air yang berasal dari 7 sumur, tidak boleh kurang meskipun hanya 1 sumur, karena diyakini jika kurang akan mengakibatkan petaka bagi si bayi. Keyakinan yang demikian ini tentu tidak boleh. Itu harus kita ubah dan diluruskan. Yang diubah bukan masalah pada air yang berasal dari 7 sumur, namun keyakinan bahwa itu wajib dan akan mendapat bencana jika kurang dari 7 sumur.

Namun demikian, jangan sampai kita terburu-buru memvonis syirik dan haram tradisi mitoni hanya karena persoalan seperti yang dijelaskan di atas. Saat ini umat Islam di tanah Jawa sudah memahami mana yang syirik dan mana yang tidak. Sehingga pada saat pelaksanaan mitoni hanya diisi dengan doa dan sedekah, tanpa mandi 7 sumur. Kalau pun ada yang masih melaksanakan mandi dengan air 7 sumur, maka itu dipandang hanya sebagai sebuah tradisi tanpa disertai di dalamnya keyakinan wajibnya dan mendapat bencana bila tidak dilaksanakan. 
 
Oleh karena itu, selayaknya kita memilih mana tradisi yang tidak menyelisihi syariat Islam dan mana yang meyelisihinya. Jika ada yang menyelisihi syariat Islam, harus diluruskan sesuai dengan syariat Islam.  

Demikianlah sahabatku kajian singkat kita tentang tradisi mitoni. Semoga bermanfaat dan membuka wawasan kita betapa indahnya budaya yang dihasilkan oleh makhuluk Allah bernama manusia ini. 

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh 

Bolehkah Menyentuh Al Qur'an Orang Yang Berhadats?

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Ustadz, saya mau bertanya tentang hukum orang yang sedang berhadats menyentuh al Qur'an. Bolehkah yang demikian itu? Mhn keterangannya Ustadz. Tks. Wassalam. (Maftuh, Klaten)

Jawaban:

Wa'alaikum salam Warahmatullah Wabarakatuh

Semoga hari-harimu saudaraku senantiasa dalam bimbingan petunjuk Allah. Adapun jawaban bagi pertanyaan yang Anda ajukan adalah firman Allah Swt :

"Tidak boleh menyentuh al Qur'an kecuali orang-orang yang suci. Yang diturunkan dari Tuhan semesta alam." (QS. al Waqi'ah: 79-80)

Ayat di atas adalah dasar yang dipegang oleh para ulama untuk memfatwakan bahwa haram hukumnya menyentuh al Qur'an bagi orang yang tidak suci (baca: dalam keadaan berhadats).

Fatwa yang demikian ini, misalnya, bisa kita temukan di dalam kitab Fath al Mu'in, 10. Di sana Syaikh Zainuddin al Malibari berkata, "Haram sebab hadats kecil, melakukan thawaf, sujud (tilawah dan syukur), membawa mushhaf dan menyentuh kertas yang padanya dituliskan ayat al Qur'an, meskipun hanya sebagian ayat."

Mungkin saudaraku pernah mendengar fatwa sebagian orang yang mengatakan bahwa yang tidak boleh disentuh pada firman Allah di atas adalah al Qur'an yang ada di lauh mahfuzh, bukan yang ada di dunia ini. 

Untuk menjawab fatwa itu, mari kita simak penjelasan Syaikh Ibnu Taimiyah, yang dikutip oleh Syaikh Muhammad Ali al Shabuni dalam kitabnya Rawa-i' al Bayan fi Tafsir Ayat al Ahkam (Juz 1/507) berikut ini:

"Tentang hukum syar'i ini, Ibnu Taimiyah berdalil dengan cara yang sangat halus. Beliau berkata, "Ayat tersebut menunjukkan hukum (keharaman menyentuh al Qur'an bagi orang yang tidak punya wudhu) dengan jalan isyarah. Jika Allah Swt menyebutkan bahwa mushhaf yang suci itu tidak dapat disentuh kecuali orang-orang yang suci (malaikat), maka begitu pula mushhaf yang ada di hadapan kita tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang suci (dari hadats)." (Syaikh Muhammad Ali al Shabuni berkata) Saya berpendapat bahwa inilah pendapat yang benar dan harus diikuti. Yakni, pendapat yang disepakati oleh mayoritas ulama tentang haramnya menyentuh mushhaf yang mulia ini dalam keadaan tidak suci."

Fatwa keharaman ini lebih kuat lagi dengan adanya riwayat berikut:

"Dari Abu Bakar bin Muhammad, ia berkata, "Sesungguhnya Rasulullah Saw pernah menulis surat kepada penduduk Yaman agar tidak menyentuh al Qur'an kecuali orang yang suci (dalam keadaan wudhu)." (HR Darimi)

Saudaraku, setelah membaca penjelasan di atas, maka kesimpulan yang bisa saya berikan adalah bahwa yang diizinkan (dibolehkan) menyentuh al Qur'an hanyalah orang-orang yang dalam keadaan suci (wudhu), bebas dari hadats kecil maupun besar. Tentu saja ada pengecualiannya, yakni bagi anak keci (belum baligh), untuk keperluan belajar, atau karena adanya uzur lainnya yang dibenarkan secara syar'i.

Demikian jawaban yang bisa saya berikan. Semoga Allah memberkahi kita dengan rahmat-Nya. (Wallahu a'lam)

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Senin, 24 November 2014

Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Yuk kita simak lagi biografi ulama. Saat ini saya akan tuliskan biografi Habib Syech. Semoga ada manfaat dan hikmah yang bisa kita petik dari perjalanan hidup beliau. 


Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf adalah salah satu putra dari 16 bersaudara putra-putri Alm Al-Habib Abdulkadir bin Abdurrahman Assegaf ( tokoh alim dan imam Masjid Jami’ Asegaf di Pasar Kliwon Solo).

Berawal dari pendidikan yang diberikan oleh guru besarnya yang sekaligus ayahhanda tercinta, Habib Syech mendalami ajaran agama dan Akhlaq leluhurnya.


Berlanjut sambung pendidikan tersebut oleh paman beliau Alm. Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf yang datang dari Hadramaout.


Habib Syech juga mendapat pendidikan, dukungan penuh dan perhatian dari Alm. Al-Imam, Al-Arifbillah, Al-Habib Muhammad Anis bin Alwiy Al-Habsyi (Imam Masjid Riyadh dan pemegang magom Al-Habsyi). Berkat segala bimbingan, nasehat, serta kesabaranya, Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf menapaki hari untuk senantiasa melakukan Syiar Cinta Rasul yang diawali dari Kota Solo.


Waktu demi waktu berjalan mengiringi Syiar Cinta Rasulnya, tanpa disadari banyak umat yang tertarik dan mengikuti majelisnya, hingga saat ini telah ada ribuan jama’ah yang tergabung dalam Ahbabul Musthofa. Mereka mengikuti dan mendalami tetang pentingnya Cinta kepada Rosul SAW dalam kehidupan ini.


Ahbabul Musthofa, adalah salah satu dari beberapa majelis yang ada untuk mempermudah umat dalam memahami dan mentauladani Rasul SAW, berdiri sekitar Tahun 1998 di kota Solo, tepatnya Kampung Mertodranan, berawal dari majelis Rotibul Haddad dan Burdah serta maulid Simthut Duror Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf memulai langkahnya untuk mengajak ummat dan dirinya dalam membesarkan rasa cinta kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW .


Sampai sekarang, Habib Syech masih melantunkan syair-syair indah nan menggetarkan hati Sholawat Shimthud Durror di berbagai tempat, untuk di Jogja setiap malam Jumat Pahing di IAIN SUKA, Timoho.


Sholawat Rutin :
setiap hari Rabu Malam dan Sabtu Malam Ba’da Isyak di Kediaman Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf .

Pengajian Rutin Selapanan Ahbabul Musthofa:
– Purwodadi ( Malam Sabtu Kliwon ) di Masjid Agung Baitul Makmur Purwodadi.
– Kudus ( Malam Rabu Pahing ) di Halaman Masjid Agung Kudus.
– Jepara ( Malam Sabtu Legi ) di Halaman Masjid Agung Jepara .
– Sragen ( Malam Minggu Pahing ) di Masjid Assakinah, Puro Asri, Sragen.
– Jogja ( Malam Jum’at Pahing ) di Halaman PP. Minhajuttamyiz, Timoho, di belakang Kampus IAIN.
– Solo ( Malam Minggu Legi ) di Halaman Mesjid Agung Surakarta.

Jangan hanya main band meniru dan mengidolakan gaya orang-orang kafir, tapi Nabi sendiri tidak pernah ditiru dan dipuji puji! Sudah saatnya bersholawat, menjunjung, memuji dan meniru Nabi Muhammad SAW agar memperoleh syafaatnya dan beliau mengakui kita sebagai umatnya, karena percuma saja kita yg mengaku ngaku umatnya, tapi tidak pernah bersholawat. 
Semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Fardhu Wudhu

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Alhamdulillah, pagi ini Allah masih memberikan kekuatan bagi kita untuk menjalani aktivitas hidup. Semoga Allah senantiasa membimbing kita dengan petunjuk-Nya sehingga selamat dari tipu daya setan yang tak pernah menyerah untuk menjerumuskan manusia.

Sahabat, pagi ini kita akan mengkaji tentang fardhu wudhu. Tahukah sahabat apakah fardhu wudhu itu? Secara sederhana bisa dikatakan fardhu wudhu adalah hal-hal yang harus dilakukan saat kita melaksanakan wudhu. Harus dilakukan, artinya tidak boleh ditinggalkan. Jika ada satu saja di antara fardhu wudhu itu yang ditinggalkan atau tertinggal, maka wudhunya menjadi tidak sah. Nah, di sinilah titik penting mengapa kita harus mengetahui fardhu-fardhu wudhu.

Para ulama ahli fiqih telah merumuskan bahwa fardhu wudhu itu ada enam, yakni:

1. Niat ketika membasuh wajah
2. Membasuh wajah.
3. Membasuh kedua tangan hingga siku.
4. Mengusap sebagian kepala.
5. Membasuh kedua kaki hingga mata kaki.
6. Tertib, yakni sesuai urutan yang ada.

Keterangan

Sahabat sekalian, setiap ibadah yang ada dalam syariat Islam tentu memiliki dalil. Demikian halnya dengan wudhu. Dalil disyariatkannya wudhu dan wajibnya melaksanakan wudhu sebelum menunaikan shalat adalah firman Allah Swt:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu hingga siku, dan sapulah (usaplah) kepalamu dan (basuhlah) kakiu sampai kedua mata kaki." (QS. al Baqarah: 6)

Penting untuk kita ketahui bahwa kedua siku dan mata kaki termasuk anggota tubuh yang wajib dibasuh saat berwudhu. Jika kedua bagian tersebut tidak terbasuh saat berwudhu, maka wudhunya tidak sah.

Abu Hurairah ra pernah berwudhu. Dalam wudhu tersebut ia membasuh mukanya dan menyempurnakan (basuhan) wudhunya. Kemudian membasuh tangannya yang kanan hingga pada lengan atasnya. Dan membasuh tangan kirinya hingga lengan atasnya. Kemudian mengusap kepalanya dan membasuh kaki kanan hingga betisnya. Kemudian juga membasuh kaki kirinya hingga betis. Kemudian ia berkata, "Demikianlah aku melihat Rasulullah Saw berwudhu." (HR Muslim)

Di dalam al Qur'an surat al Baqarah ayat 6, terdapat kalimat: biru-uusikum. Maknanya adalah bagian dari kepala. Makna yang demikian itu didasarkan pada apa yang dikatakan oleh al Mughirah ra, "Sesungguhnya Rasulullah Saw berwudhu, lalu mengusap ubun-ubunnya dan mengusap sorbannya."(HR Muslim dan lain-lain)

Mungkin sahabat bertanya, "Apakah ubun-ubun itu termasuk kepala?"

Ya, betul. Ubun-ubun berada di bagian depan kepala, dan ia termasuk bagian dari kepala. Di dalam riwayat al Mughirah ra di atas disebut bahwa Rasulullah Saw mengusap ubun-ubunnya. Hal ini menunjukkan bahwa mengusap sebagian dari kepala adalah fardhu, dan yang diusap itu bisa bagian mana saja, asalkan masih termasuk bagian kepala.

Ada pun yang berkaitan dengan kefardhuan niat, dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw:

"Bahwasanya segala amal (harus disertai) niat." (HR Bukhari dan Muslim)

Makna dari hadits tersebut adalah secara syara' suatu amal tidak dipandang sah bila tidak disertai niat. Oleh karena wajib berniat saat kita melaksanakan wudhu. Bila tidak, maka wudhunya tidak sah.

Sedangkan dalil wajibnya tertib (berurutan dalam membasuh/mengusap anggota wudhu) adalah perbuatan Nabi Saw yang banyak dijelaskan dalam hadits-hadits shahih, di antaranya sebagamana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra di atas.

Untuk melengkapi keterangan yang sudah saya sampaikan, mari kita simak penjelasan Imam Nawawi dalam al Majmu'. Beliau berkata, "Dari as Sunnah para ulama madzhab Syafi'i berhujjah dengan beberapa hadits shahih yang diambil dari riwayat-riwayat beberapa golongan sahabat yang menjelaskan sifat wudhu Rasulullah Saw semuanya meriwayatkan akan tertibnya wudhu Rasulullah Saw. Dalam periwayatan mereka tidak terdapat satu riwayat pun yang menegaskan tidak tertibnya wudhu beliau, walaupun dalam hal-hal yang lain (seperti usapan/basuhan) terdapat perbedaan. Apa yang dilakukan oleh Nabi Saw adalah penjelasan terhadap wudhu yang diperintahkan. Seandainya tertib itu boleh ditinggalkan tentulah sekali waktu beliau meninggalkan tertib itu untuk menjelaskan akan kebolehannya, sepertinya halnya beliau meninggalkan pengulangan (basuhan/usapan) di beberapa kesempatan." (al Majmu': 1/484).

Demikianlah sahabat penjelasan berkaitan dengan fardhu wudhu. Semoga bermanfaat.

Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Minggu, 23 November 2014

Imam Syafi'i

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i, mari kita simak biografi singkat Imam Syafi'i. Seorang imam yang agung, yang menjadi inspirasi blog ini.
 
Profil Singkat

Nama lengkap: Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi'i Al-Muttalibi Al-Qurashi
Nama gelar kehormatan: Alimul Ashr, Nashirul Hadits, Imam Quraish, Al-Imam Al-Mujaddid, Faqihul Millah
Tempat lahir: Gaza, Palestina.
Tanggal lahir: tahun 767 M / 150 H.
Wafat: Akhir malam Rajab tahun 820 M / 204 H.
Tempat wafat: Kairo, Mesir.
Aliran Islam: Ahlussunnah Wal Jamaah
Ayah: Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi' bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muttalib bin Abdu Manaf.
Ibu: Fatimah binti Abdullah Al-Uzdiyah.
Putra: Abu Utsman dan Abul Hasan
Putri: Fatimah dan Zainab


Nasab dari pihak ayah.

Ayahnya bernama Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi` bin Sa`ib bin Abid bin Abu Yazid bin Hisyam bin Muthalib bin Abdu Manaf bin Qusayyi bin Kilab bin Murrah, nasab beliau bertemu dengan Rasulullah saw. pada Abdu Manaf bin Qusayyi.


Nasab dari pihak Ibu.

Ibnunya bernama Fatimah binti Abdullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Orang-orang mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui Hasyimiyah melahirkan keturunan kecuali Imam Ali bin Abi Thalib dan Imam Syafi`i.


Kelahiran Imam Syafi`i.

Dia dilahirkan pada tahun 150 H. bertepatan dengan dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Dia dilahirkan di desa Ghazzah, Asqalan. Ketika usianya mencapai dua tahun, ibunya mengajak pindah ke Hijaz dimana sebagian besar penduduknya berasal dari Yaman, ibunya sendiri berasal dari Azdiyah. Lalu keduanya menetap di sana. Akan tetapi saat usianya telah mencapai sepuluh tahun, ibunua mengajak pindah ke Makkah lantaran khawatir akan melupakan nasabnya.


Jenjang Pendidikan Imam Syafi`i.

Imam Syafi`i sejak kecil hidup dalam kemiskinan, pada waktu dia diserahkan ke bangku pendidikan, para pendidik tidak memperoleh upah dan mereka hanya terbatas pada pengajaran. Akan tetapi setiap kali seorang guru mengajarkan sesuatu pada murid-murid, terlihat Syafi`i kecil denga ketajaman akal pikiran yang dimilikinya mampu menangkap semua perkataan serta penjelasan gurunya. Setiap kali gurunya berdiri untuk meninggalkan tempatnya, Syafi`i kecil mengajarkan kembali apa yang dia dengar dan dia pahami kepada anak-anak yang lain, sehingga dai apa yang dilakukan Syafi`i kecil ini mendapatkan upah. Sesudah usianya menginjak ke tujuh, Syafi`i telah berhasil menghafal al-Qur`an dengan baik.

Imam Syafi`i bercerita: “Saat kami menghatamkan al-Qur`an dan memasuki masjid, kami duduk di majlis para ulama. Kami berhasil menghafal beberapa hadits dan beberapa masalah Fiqih. Pada waktu itu, rumah kami berada di Makkah. Kondisi kehidupan kami sangat miskin, dimana kami tidak memiliki uang untuk membeli kertas, akan tetapi kami mengambil tulang-tulang sehingga dapat kami gunakan untuk menulis.”

Pada saat menginjak usia tiga belas tahun, dia juga memperdengarkan bacaan al-Qur`an kepada orang-orang yang berada di Masjid al-Haram, dia memiliki suara yang sangat merdu. Suatu ketika Imam Hakim menceritakan hadits yang berasal dari riwayat Bahr bin Nashr, bahwa dia berkata: “Jika kami ingin menangis, kami mengatakan kepada sesama teman “Pergilah kepada Syafi`i !” jika kami telah sampai dihadapannya, dia memulai membuka dan membaca al-Qur`an sehingga manusia yang ada di sekitarnya banyak yang berjatuhan di hadapannya lantaran kerasnya menangis. Kami terkagum-kagum dengan keindahan dan kemerduan suaranya, sedemikian tinggi dia memahami al-Qur`an sehingga sangat berkesan bagi para
pendengarnya.


Guru-guru Imam Syafi`i.

1. Muslim bin Khalid al-Zanji, seorang Mufti Makkah pada tahun 180 H. yang bertepatan dengan tahun 796 M. dia adalah maula Bani Mkhzum.
2. Sufyan bin Uyainah al-Hilali yang berada di Makkah, dia adalah salah seorang yang terkenal kejujuran dan keadilannya.
3. Ibrahim bin Yahya, salah satu ulama di Madinah.
4. Malik bin Anas, Imam Syafi`i pernah membaca kitab al-Muwatha` kepada Imam Malik sesudah dia menghafalnya diluar kepala, kemudian dia menetap di Madinah sampai Imam Malik wafat pada tahun 179 H. bertepatan dengan tahun 795 M.
5. Waki` bin Jarrah bin Malih al-Kufi.
6. Hammad bin Usamah al-Hasyimi al-Kufi
7. Abdul Wahab bin Abdul Majid al-Bashri.


Isteri Imam Syafi`i.

Dia menikah dengan seorang perempuan yang bernama Hamidah binti Nafi` bin Unaisah bin Amru bin Utsman bin Affan.


Keistimewaan Imam Syafi`i.

1. Keluasan ilmu pengetahuan dalam bidang sastera serta nasab, yang sejajar dengan al-Hakam bin Abdul Muthalib, dimana Rasulullah saw. pernah bersabda: “Sesungguhnya Keturunan (Bani) Hasyim dan keturunan (Bani) Muthalib
itu hakekatnya adalah satu.” (H.R. Ibnu Majah, dalam kitab yang menjelaskan tentang Wasiat, bab “Qismah al-Khumus,”
hadits no. 2329.)

2. Kekuatan menghafal al-Qur`an dan kedalaman pemahaman antara yang wajib dan yang sunnah, serta kecerdasan terhadap semua disiplin ilmu yang dia miliki, yang tidak semua manusia dapat melakukannya.

3. Kedalaman ilmu tentang Sunnah, dia dapat membedakan antara Sunnah yang shahih dan yang dha`if. Serta ketinggian ilmunya dalam bidang ushul fiqih, mursal, maushul, serta perbedaan antara lafadl yang umum dan yang khusus.

4. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Para ahli hadits yang dipakai oleh Imam Abu Hanifah tidak diperdebatkan sehingga kami bertemu dengan Imam Syafi`i. Dia adalah manusia yang paling memahami kitab Allah swt. dan Sunnah Rasulullah saw. serta sangat peduli terhadap hadits beliau.

5. Karabisy 2 berkata: Imam Syafi`i adalah rahmat bagi umat Nabi Muhammad saw. (Karabisy dinisbatkan pada profesi penjual pakaian, namanya adalah Husain bin Ali bin Yazid.)

6. Dubaisan (Namanya adalah Abu Dubais bin Ali al-Qashbani) berkata: Kami pernah bersama Ahmad bin Hambal di Masjid Jami` yang berada di kota Baghdad, yang dibangun oleh al-Manshur, lalu kami datang menemui Karabisy, lalu kami bertanya: Bagaimana menurutmu tentang Syafi`i ? kemudian dia menjawab: Sebagaimana apa yang kami katakan bahwa dia memulai dengan Kitab (al-Qur`an), Sunnah, serta ijma` para ulama`. Kami orang-orang terdahulu sebelum dia tidak mengetahui apa itu al-Qur`an dan Sunnah, sehingga kami mendengar dari Imam Syafii tentang apa itu al-Qur`an Sunnah dan ijma`. Humaidi berkata: Suatu ketika kami ingin mengadakan perdebatan dengan kelompok rasionalis kami tidak mengetahui bagaimana cara mengalahkannya. Kemudian Imam Syafi`i datang kepada kami, sehingga kami dapat memenangkan perdebatan itu. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Kami tidak pernah melihat seseorang yang lebih pandapai dalam bidang fiqih (faqih) terhadap al-Qur`an daripada pemuda quraisy ini, dia adalah Muhammad bin Idris al-Syafi`i.

7. Ibnu Rahawaih pernah ditanya: Menurut pendapatmu, bagaimanakah Imam Syafii dapat menguasai al-Qur`an dalam usia yang masih relatif muda? lalu dia menjawab: Allah swt. mempercepat akal pikirannya lantaran usianya yang pendek.

8. Rabi` berkata: Kami pernah duduk bersama di Majelisnya Imam Syafi`i setelah beliau meninggal dunia di Basir, tiba-tiba datang kepada kami orang A`rabi (badui). Dia mengucapkan salam, lalu bertanya: Dimanakah bulan dan matahri majleis ini ? lalu kami mejawab: Dia telah wafat. Kemudian dia menangis lalu berkata: Semoga Allah swt. memncurahkan rahmat dan mengampuni semua dosanya. Sungguh beliau telah membuka hujjah yang selama ini tertutup, telah merubah wajah orang-orang yang ingkar dan juga telah membuka kedok mereka, dan juga telah membuka pintu kebodohan
disertai penjelasannya, lalu tidak beberapa lama orang badui itu pergi.


Sikap Rendah Hati yang dimiliki Imam Syafi`i.

Hasan bin Abdul Aziz al-Jarwi al-Mishri mengatakan, bahwa Imam Syafii pernah berkata: Kami tidak menginginkan kesalahan terjadi pada seseorang, kami sangat ingin agar ilmu yang kami miliki itu ada pada setiap orang dan tidak
disandarkan pada kami. Imam Syafi`i berkata: Demi Allah kami tidak menyaksikan seseorang lalu kami menginginkan kesalahan padanya. Tidaklah bertemu dengan seseorang melainkan kami berdo`a “Ya Allah, jadikanlah kebenaran ada pada hati dan lisannya ! jika kebenaran berpihak kepada kami, semoga dia mengikuti kami, dan jika kebenaran berpihak kepadanya semoga kami mampu mengikutinya. Imam Syafii adalah Pakar Ilmu Pengetahuan dari Quraisy. Imam Ahmad bin Hambal berkata: Jika kami ditanya tentang satu masalah dan kami tidak mengetahuinya, maka kami menjawab dengan menukil perkataan Syafi`i, lantaran dia seorang imam besar yang ahli dalam ilmu pengetahuan yang berasal dari kaum Quraisy. Dalam suatu hadits diriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda: “Orang alim dari Quraisy ilmunya akan memenuhi bumi.” (Manaqib karya Imam Baihaqi, juz 1, hlm. 45.)

Ar-Razi berkata: Kriteria orang orang yang disebutkan di atas ini akan terpenuhi apabila seseorang memiliki kriteria sebagai berikut : Pertama; berasal dari suku Quraisy. Kedua; memiliki ilmu pengetahuan yang sangat luas dari kalangan ulama. Ketiga; memiliki ilmu pengetahuan yang luas, dan dikenal oleh penduduk Timur dan Barat. Benar kriteria di atas hanya terdapat pada diri Imam Syafi`i, dia adalah seorang ahli ilmu pengetahuan yang berasal dari suku Quraisy.
Berikut beberapa hadits yang berkaitan dengan hal di atas.

1. Riwayat dari Ibnu Mas`ud bahwa dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kalian mencaci maki suku Quraisy, karena sesungguhnya ahli ilmu di antara mereka akan memenuhi dunia. Ya Allah ya Tuhan kami, Engkau telah menimpakan azab yang terdahulu dari mereka, maka anugerahkan nikmat-Mu yang terakhir dari mereka.” (5 . H.R. Abu Daud Thabalasi dalam kitab Musnad-nya, hlm. 39-40.)

2. Riwayat dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda : Ya Allah tunjukkanlah orang-orang Quraisy, karena”
sesungguhnya orang alim di antara mereka akan memenuhi dunia. Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memberikan azab kepada mereka, maka berikanlah (Khatib, dalam Tarikh, juz 2, hlm. 61.) juga Ni`mat-Mu atas mereka.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali

3. Dia adalah orang Quraisy dari Bani al-Muthalibi, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Bani Hasyim dan Bani Muthalib adalah adalah satu.” Lalu Rasulullah saw. merapatkan jari tangannya. (H.R. Sunan Kubra, juz 6, hlm. 340.)
Selanjutnya Rasulullah saw. kembali bersabda : “Sesungguhnya Allah swt. mengutus untuk umat ini pada setiap setiap
seratus tahun seseorang yang memperbaharui agama-Nya.” (8 . Al-Mustadrak, juz 4, hlm. 522, dan Khatib dalam Tarikh, juz 2, hlm. 61.)


Anak-anak Imam Syafi`i.

1. Abu Usman Muhammad, dia seorang hakim di kota Halib, Syam (Syiria).
2. Fatimah.
3. Zainab.


Imam Syafi`i ke Mesir.

Imam Syafi`i datang ke Mesir pada tahun 199 H. atau 814/815 M. pada masa awal khalifah al-Ma`mun, lalu dia kembali ke Baghdad dan bermukim di sana selama satu bulan, kemudian dia kembali lagi ke Mesir. Dia tinggal di sana sampai akhir hayatnya pada tahun 204 H. atau 819/820 M.


Kitab-kitab Karya Imam Syafi`i.

1. Al-Risalah al-Qadimah (kitab al-Hujjah)
2. Al-Risalah al-Jadidah.
3. Ikhtilaf al-Hadits.
4. Ibthal al-Istihsan.
5. Ahkam al-Qur`an.
6. Bayadh al-Fardh.
7. Sifat al-Amr wa al-Nahyi.
8. Ikhtilaf al-Malik wa al-Syafi`i.
9. Ikhtilaf al- Iraqiyin.
10. Ikhtilaf Muhammad bin Husain.
11. Fadha`il al-Quraisy
12. Kitab al-Umm
13. Kitab al-Sunan


Wafatnya Imam Syafi`i.

Beliau menderita penyakit ambeien pada akhir hidupnya, sehingga mengakibatkan beliau wafat di Mesir pada malam Jum`at sesudah shalat Maghrib, yaitu pada hari terakhir di bulan Rajab. Beliau di makamkan pada Hari Jum`at pada tahun 204 H. bertepatan tahun 819/820 M. makamnya berada di kota Kairo, di dekat masjid Yazar, yang berada dalam lingkungan perumahan yang bernama Imam Syafi`i.

Antara Menangis dan Tertawa

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i

Pada suatu ketika di Hari Raya Idul Fitri, sufi Ibn al-Wardi bertemu dengan sekelompok orang yang sedang tertawa terbahak-bahak. Melihat pemandangan itu, Ibn al-Wardi menggerutu sendiri. Katanya, ''Kalau mereka memperoleh pengampunan, apakah dengan cara itu mereka bersyukur kepada Allah, dan kalau mereka tidak memperoleh pengampunan, apakah mereka tidak takut azab dan siksa Allah?''

Kritik Ibn al-Wardi ini memperlihatkan sikap kebanyakan kaum sufi. Pada umumnya mereka tidak suka bersenang-senang dan tertawa ria. Mereka lebih suka menangis dan tepekur mengingat Allah. Bagi kaum sufi, tertawa ria merupakan perbuatan tercela yang harus dijauhi, karena perbuatan tersebut dianggap dapat menimbulkan ghaflah, yaitu lalai dari mengingat Allah.

Akibat buruk yang lain, tertawa ria dapat membuat hati menjadi mati, yang membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah (Al-Zumar: 22), tidak dapat menerima petunjuk (Al-Baqarah: 7), dan mudah disesatkan oleh setan (Hajj: 53). Pada waktu Perang Tabuk, orang-orang munafik berpaling dan menolak berperang bersama Nabi. Mereka justru bersenang-senang dan tertawa ria di belakang beliau. Tentu saja mereka dikecam oleh Allah dan diancam hukuman berat. Firman-Nya, ''Katakanlah: Api neraka itu lebih sangat panasnya jikalau mereka mengetahui.Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.'' (Al-Taubah: 81-82). Ayat di atas, menurut pakar tafsir al-Razi, datang dalam bentuk perintah (al-amr), tetapi mengandung makna berita (al-khabar). Dalam perspektif ini, ayat tersebut bermakna bahwa kegembiraan dan suka cita orang-orang munafik itu sesungguhnya sebentar, tidak lama, lantaran kenikmatan dunia tidak kekal alias terbatas.


Sedangkan duka dan penderitaan mereka di akhirat justru berlangsung lama dan terus-menerus, lantaran azab dan siksa Tuhan di akhirat kekal abadi alias selama-lamanya. Ini berarti, setiap orang dihadapkan pada dua pilihan yang bersifat antagonistik, yaitu tertawa ria di dunia, tetapi menangis di akhirat, atau menangis di dunia, tetapi riang gembira dan tersenyum di akhirat. Dalam hadis sahih, Nabi Saw pernah berpesan agar kaum Muslim lebih banyak menangis daripada tertawa ria. Kata beliau, ''Jikalau kalian mengetahui apa yang kuketahui, pastilah kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.'' (HR Bukhari-Muslim). Di akhirat, berbeda dengan di dunia, manusia akan terbagi menjadi dua golongan saja.

Pertama, golongan yang bersuka cita dan tertawa ria. Mereka itulah para penghuni surga. Kedua, golongan orang yang menderita dan bermuram durja. Mereka itulah para penghuni neraka. Allah berfirman: ''Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak pula muka pada hari itu tertutup debu dan ditutup pula oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.'' ('Abasa: 38-42). Semoga kita termasuk golongan orang yang dapat tertawa ria di akhirat kelak. Amin.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bersiwak (Menyikat Gigi)

Assalamu'alaikum para sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Alhamdulillah, hingga detik ini limpahan nikmat Allah Ta'ala tak pernah berkurang dari kehidupan kita. Tiap tarikan dan hembusan nafas ini masih tetap disertai berbagai nikmat-Nya.

Sahabat...

Pagi ini kita akan membahas tentang persoalan bersiwak. Tentu sahabat sudah mengetahui bahwa bersiwak maknanya sama dengan menyikat gigi. Mungkin kesannya biasa saja jika mendengar kata menyikat gigi (bersiwak), karena ia sudah merupakan aktivitas yang biasa kita lakukan. Namun perlu diketahui bahwa bersiwak merupakan salah satu tema (pasal) yang tak pernah dilewatkan dalam pembahasan fiqih bersuci (thaharah).

Para sahabat...

Bersiwak sunnah dilakukan setiap saat. Hal ini berdasarkan hadits yang bersumber dari Aisyah ra, yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

"Siwak itu menyucikan mulut, dan membuat ridha Tuhan." (HR Nasa'i)

Hadits senada juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya. 

Lalu, benda apa yang bisa dipakai untuk bersiwak? Pada prinsipnya segala yang kasar yang dapat digunakan untuk menghilangkan kotoran gigi bisa dipakai untuk bersiwak. Hanya saja lebih utama bila yang digunakan sebagai alat bersiwak itu kayu arak, seperti yang biasa dibawa oleh jamaah haji. 

Dalam madzhab Syafi'i ditegaskan bahwa bersiwak disunnahkan setiap saat kecuali setelah matahari tergelincir (masuk waktu dzuhur) bagi orang yang menunaikan puasa. Maksudnya begini. Kalau sahabat sedang berpuasa, maka setelah tiba waktu dzuhur maka tidak disunnahkan untuk bersiwak. Jika hendak bersiwak hendaklah itu dilakukan sebelum tiba waktu dzuhur. Hal itu untuk tetap menjaga keutamaan bagi orang yang sedang puasa.

Dalil tentang hal itu adalah hadits yang bersumber dari Abu Hurairah ra yang menegaskan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

"Sungguh bau busuk (dari) mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada harumnya misik (minyak wangi)." (HR Bukhari dan Muslim)

Mungkin sahabat bertanya, "Mengapa mesti harus setelah masuk waktu dzuhur?"

Sahabat, orang yang sedang berpuasa biasanya bau mulutnya itu akan timbul dan berbau lebih tajam setelah waktu dzuhur. Kalau sahabat menyikat gigi (bersiwak) setelah waktu dzuhur maka bisa menghilangkan bau mulut itu, padahal bau mulut orang yang berpuasa memiliki nilai keutamaan di sisi Allah Swt. Tentunya sahabat ndak mau dong kehilangan keutamaan itu. Itulah sebabnya para ulama menilai makruh menyikat gigi setelah waktu dzuhur bagi orang yang menunaikan puasa.

Hal lain yang perlu kita ketahui tentang bersiwak adalah waktu sangat dianjurkannya untuk bersiwak. Menurut para ulama ada 3 waktu yang kita sangat disunnahkan untuk menyikat gigi (bersiwak):

1. Ketika bau mulut telah berubah disebabkan oleh tidak bicara, tidak makan, atau makan makanan yang beraroma (bau) yang menyengat, seperti jengkol, (sepupunya jengkol) petai, bawang, merokok, dan sebagainya.

2. Ketika bangun tidur. Hal ini sebagaimanya yang dikatakan oleh Hudzaifah ra, bahwa Rasulullah Saw bila bangun di waktu malam, maka beliau menggosok mulutnya dengan siwak. (HR Bukhari, Muslim, dan lain-lain).

Hal senada juga disampaikan di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya, yang bersumber dari Aisyah ra.

3. Ketika hendak melaksanakan shalat. Tentang hal ini, Rasulullah Saw bersabda, "Apabila tidak memberatkan umatku, sungguha mereka (akan) aku perintahkan bersiwak setiap saat akan shalat." (HR Bukhari, Muslim dan lain-lain dari Abu Hurairah ra). Sedangkan dalam riwayat Imam Ahmad dikatakan, "...sungguh mereka akan perintahkan bersiwak pada setiap wudhu."

Perintah dalam hadits tersebut bila direalisasikan maka hukumnya menjadi wajib. Hanya hal itu tidak direalisasikan oleh Rasulullah Saw (tidak beliau wajibkan), sehingga hukumnya menjadi sunnah muakkad (sunnah yang sangat dianjurkan). Oleh karena itu, mari kita membiasakan diri untuk bersiwak, semoga dengannya banyak keutamaan dan keberkahan Allah yang kita dapatkan. Amin..

Sabtu, 22 November 2014

Bejana Yang Tak Boleh Digunakan

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Berikut akan saya paparkan perihal bejana. Persoalan ini terkesan remeh, namun sungguh dalam syariat Islam menempati posisi yang penting untuk diketahui.

Sahabat..., tahukah sahabat bahwa bejana itu ada yang dibolehkan untuk kita gunakan dan ada yang terlarang untuk kita pakai. Bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak haram untuk digunakan, sedangkan yang terbuat selain dari keduanya dibolehkan untuk dipakai.

Adapun dalil dilarangnya menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak adalah hadits yang bersumber dari Hudzaifah al Yamani ra yang berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda:

"Janganlah kalian mengenakan pakaian sutera dan dibaj (sejenis sutera); dan janganlah kalian minum dalam bejana-bejana emas dan perak, serta janganlah kalian makan dalam piring-piring emas dan perak. Karena sesungguhnya barang-barang itu untuk orang kafir di dunia dan untuk kita nanti di akhirat." (HR Bukhari dan Muslim)

Mungkin sahabat bertanya-tanya, "Bagaimana seandainya bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak itu digunakan untuk selain makan dan minum. Bolehkah menggunakannya?"

Sahabat yang baik..., tetap tidak boleh. Mengapa? Karena keharamannya diqiyaskan dengan keharaman menggunnakannya untuk makan dan minum. Dan penting juga untuk diingat, keharaman ini berlaku umum, baik bagi laki-laki maupun permpuan.

Sedangkan dalil dibolehkannya menggunakan bejana selain yang terbuat dari emas dan perak adalah kaidah yang menegaskan bahwa segala sesuatu itu pada asalnya adalah boleh, kecuali ada ada dalil yang menunjukkan keharamannya (larangannya).

Demikian sahabat penjelasan singkat tentang persoalan bejana. Semoga bermanfaat dan memperoleh berkah dari Allah Ta'ala. Amiin..

Wassalam

As Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki

Assalamu'alaikum sahabat Kajian Fiqih Syafi'i...

Yuk kita baca biografi ulama lagi. Supaya kita mengetahui keadaan mereka dan bisa mengambil pelajaran darinya. Kali ini kita akan membaca biografi Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki. Simaklah...

As Sayyid Prof. Dr. Muhammad bin Sayyid 'Alawi bin Sayyid 'Abbas bin Sayyid 'Abdul 'Aziz al-Maliki al-Hasani al-Makki al-Asy'ari asy-Syadzili lahir di kota suci Makkah pada tahun 1365 H. Pendidikan pertamanya adalah Madrasah Al-Falah, Makkah, dimana ayah beliau Sayyid Alawi bin Abbas al Maliki sebagai guru agama di sekolah tersebut yang juga merangkap sebagai pengajar di halaqah di Haram Makki, dekat Bab As-salam

Ayah beliau, Sayyid Alwi bin Abbas Almaliki (kelahiran Makkah th 1328H), seorang alim ulama terkenal dan ternama di kota Makkah. Disamping aktif dalam berdawah baik di Masjidil Haram atau di kota kota lainnya yang berdekatan dengan kota Makkah seperti Thoif, Jeddah dll, Sayyid Alwi Almaliki adalah seorang alim ulama yang pertama kali memberikan ceramah di radio Saudi setelah salat Jumat dengan judul "Hadist al-Jumah".

Begitu pula ayah beliau adalah seorang Qadhi yang selalu di panggil masyarakat Makkah jika ada perayaan pernikahan.Selama menjalankan tugas da'wah, Sayyid Alwi bin Abbas Almaiki selalu membawa kedua putranya Muhammad dan Abbas. Mereka berdua selalu mendampinginya kemana saja ia pergi dan berceramah baik di Makkah atau di luar kota Makkah. Adapun yang meneruskan perjalanan dakwah setelah wafat beliau adalah Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki dan Sayyid Abbas selalu berurusan dengan kemaslahatan kehidupan ayahnya.

Sebagaimana adat para Sadah dan Asyraf ahli Makkah, Sayyid Alwi Almaliki selalu menggunakan pakaian yang berlainan dengan ulama yang berada di sekitarnya. Beliau selalu mengenakan jubbah, serban (imamah) dan burdah atau rida yang biasa digunakan dan dikenakan Asyraf Makkah.

Setelah wafat Sayyid Alwi Almaiki, anaknya Sayyid Muhammad tampil sebagai penerus ayahnya. Dan sebelumnya ia selalu mendapatkan sedikit kesulitan karena ia merasa belum siap untuk menjadi pengganti ayahnya. Maka langkah pertama yang diambil adalah ia melanjutkan studi dan ta'limnya terlebih dahulu. Beliau berangkat ke Kairo dan Universitas al-Azhar Assyarif merupakan pilihanya. Setelah meraih S1, S2 dan S3 dalam fak Hadith dan Ushuluddin beliau kembali ke Makkah untuk melanjutkan perjalanan yang telah di tempuh sang ayah. Disamping mengajar di Masjidi Haram di halaqah, beliau diangkat sebagai dosen di Universitas King Abdul Aziz- Jeddah dan Univesitas Ummul Qura Makkah bagian ilmu Hadith dan Usuluddin. Cukup lama beliau menjalankan tugasnya sebagai dosen di dua Universiatas tsb, sampai beliau memutuskan mengundurkan diri dan memilih mengajar di Masjidil Haram sambil menggarap untuk membuka majlis ta'lim dan pondok di rumah beliau.

Adapun pelajaran yang di berikan baik di masjid haram atau di rumah beliau tidak berpoin kepada ilmu tertentu seperti di Universitas. Akan tetapi semua pelajaran yang diberikannya bisa di terima semua masyarakat baik masyarakat awam atau terpelajar, semua bisa menerima dan semua bisa mencicipi apa yang diberikan Sayyid Maliki. Maka dari itu beliau selalu menitik-beratkan untuk membuat rumah yang lebih besar dan bisa menampung lebih dari 500 murid per hari yang biasa dilakukan selepas sholat Maghrib sampai Isya di rumahnya di Hay al Rashifah. Begitu pula setiap bulan Ramadan dan hari raya beliau selalu menerima semua tamu dan muridnya dengan tangan terbuka tanpa memilih golongan atau derajat. Semua di sisinya sama tamu-tamu dan murid murid, semua mendapat penghargaan yang sama dan semua mencicipi ilmu bersama-sama.

Dari rumah beliau telah keluar ulama-ulama yang membawa panji Rasulallah ke suluruh pelosok permukaan bumi. Di mana negara saja kita dapatkan murid beliau, di India, Pakistan, Afrika, Eropa, Amerika, apa lagi di Asia yang merupakan sebagai orbit dahwah sayid Muhammad Almaliki, ribuan murid murid beliau yang bukan hanya menjadi kyai dan ulama akan tetapi tidak sedikit dari murid2 beliau yang masuk ke dalam pemerintahan.

Di samping pengajian dan taklim yang rutin di lakukan setiap hari pula beliau telah berusaha mendirikan pondok yang jumlah santrinya tidak sedikit, semua berdatangan dari seluruh penjuru dunia, belajar, makan, dan minum tanpa di pungut biaya sepeser pun bahkan beliau memberikan beasiswa kepada para santri sebagai uang saku. Setelah beberapa tahun belajar para santri dipulangkan ke negara-negara mereka untuk menyiarkan agama.

Sayid Muhammad Almaliki dikenal sebagai guru, pengajar dan pendidik yang tidak beraliran keras, tidak berlebih-lebihan, dan selalu menerima hiwar dengan hikmah dan mauidhah hasanah.thariqahnya.

Dalam kehidupannya beliau selalu bersabar dengan orang-orang yang tidak bersependapat baik dengan pemikirannya atau dengan alirianya. Semua yang berlawanan diterima dengan sabar dan usaha menjawab dengan hikmah dan menklirkan sesuatu masalah dengan kenyataan dan dalil-dalil yang jitu bukan dengan emosi dan pertikaian yang tidak bermutu dan berkesudahan. Beliau tahu persis bahwa kelemahan Islam terdapat pada pertikaian para ulamanya dan ini memang yang di inginkan musuh Islam. Sampai-sampai beliau menerima dengan rela digeser dari kedudukannya baik di Universitas dan ta'lim beliau di masjidil Haram. Semua ini beliau terima dengan kesabaran dan keikhlasan bahkan beliau selalu menghormati orang orang yang tidak bersependapat dan sealiran dengannya, semasih mereka memiliki pandangan khilaf yang bersumber dari al-Quran dan Sunah. Adapun ulama yang telah mendapat gemblengan dari Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki, mereka pintar-pintar dan terpelajar. Di samping menguasai bahasa Arab, mereka menguasai ilmu-ilmu agama yang cukup untuk dijadikan marja' dan reference di negara-negara mereka. Beliau ingin mengangkat derajat dan martabat Muslimin menjadi manusia yang berperilaku baik dalam muamalatnya kepada Allah dan kepada sesama, terhormat dalam perbuatan, tindakan serta pikiran dan perasaannya. Beliau adalah orang cerdas dan terpelajar, berani dan jujur serta adil dan cinta kasih terhadap sesama. Itulah ajaran utama Sayyid Muhammad bin Alwi Almaliki. Beliau selalu menerima dan menghargai pendapat orang dan menghormati orang yang tidak sealiran dengannya atau tidak searah dengannya

Karya Tulis Beliau

Di samping tugas beliau sebagai da'i, pengajar, pembibing, dosen, penceramah dan segala bentuk kegiatan yang bermanfaat bagi agama, beliau pula seorang pujangga besar dan penulis unggul. Tidak kurang dari 100 buku yang telah dikarangnya, semuanya beredar di seluruh dunia. Tidak sedikit dari kitab2 beliau yang beredar telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Prancis, Urdu, Indonesia dll.

Sayyid Muhammad merupakan seorang penulis prolifik dan telah menghasilkan hampir seratus buah kitab. Beliau telah menulis dalam pelbagai topik agama, undang-undang, social serta sejarah, dan kebanyakan bukunya dianggap sebagai rujukan utama dan perintis kepada topik yang dibicarakan dan dicadangkan sebagai buku teks di Institusi-institusi Islam di seluruh dunia. Kita sebutkan sebahagian hasilnya dalam pelbagai bidang:

Aqidah:

1. Mafahim Yajib an Tusahhah
2. Manhaj As-salaf fi Fahm An-Nusus
3. At-Tahzir min at-Takfir
4. Huwa Allah
5. Qul Hazihi Sabeeli
6. Sharh 'Aqidat al-'Awam

Tafsir:

1. Zubdat al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an
2. Wa Huwa bi al-Ufuq al-'A'la
3. Al-Qawa'id al-Asasiyyah fi 'Ulum al-Quran
4. Hawl Khasa'is al-Quran

Hadits:

1. Al-Manhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif
2. Al-Qawa'id al-Asasiyyah fi 'Ilm Mustalah al-Hadith
3. Fadl al-Muwatta wa Inayat al-Ummah al-Islamiyyah bihi
4. Anwar al-Masalik fi al-Muqaranah bayn Riwayat al-Muwatta lil-Imam Malik

Sirah:

1. Muhammad (Sallallahu Alaihi Wasallam) al-Insan al-Kamil
2. Tarikh al-Hawadith wa al-Ahwal al-Nabawiyyah
3. 'Urf al-Ta'rif bi al-Mawlid al-Sharif
4. Al-Anwar al-Bahiyyah fi Isra wa M'iraj Khayr al-Bariyyah
5. Al-Zakha'ir al-Muhammadiyyah
6. Zikriyat wa Munasabat
7. Al-Bushra fi Manaqib al-Sayyidah Khadijah al-Kubra

Ushul:

1. Al-Qawa'id al-Asasiyyah fi Usul al-Fiqh
2. Sharh Manzumat al-Waraqat fi Usul al-Fiqh
3. Mafhum al-Tatawwur wa al-Tajdid fi al-Shari'ah al-Islamiyyah

Fiqih:

1. Al-Risalah al-Islamiyyah Kamaluha wa Khuluduha wa 'Alamiyyatuha
2. Shawariq al-Anwar min Ad'iyat al-Sadah al-Akhyar
3. Abwab al-Faraj
4. Al-Mukhtar min Kalam al-Akhyar
5. Al-Husun al-Mani'ah
6. Mukhtasar Shawariq al-Anwar

Lain-lain:

1. Fi Rihab al-Bayt al-Haram (Sejarah Makkah)
2. Al-Mustashriqun Bayn al-Insaf wa al-'Asabiyyah (Kajian Berkaitan Orientalis)
3. Nazrat al-Islam ila al-Riyadah (Sukan dalam Islam)
4. Al-Qudwah al-Hasanah fi Manhaj al-Da'wah ila Allah (Teknik Dawah)
5. Ma La 'Aynun Ra'at (Butiran Syurga)
6. Nizam al-Usrah fi al-Islam (Peraturan Keluarga Islam)
7. Al-Muslimun Bayn al-Waqi' wa al-Tajribah (Muslimun, Antara Realiti dan Pengalaman)
8. Kashf al-Ghumma (Ganjaran Membantu Muslimin)
9. Al-Dawah al-Islahiyyah (Dakwah Pembaharuan)
10. Fi Sabil al-Huda wa al-Rashad (Koleksi Ucapan)
11. Sharaf al-Ummah al-Islamiyyah (Kemulian Ummah Islamiyyah)
12. Usul al-Tarbiyah al-Nabawiyyah (Metodologi Pendidikan Nabawi)
13. Nur al-Nibras fi Asanid al-Jadd al-Sayyid Abbas (Kumpulan Ijazah Datuk beliau, As-Sayyid Abbas)
14. Al-'Uqud al-Lu'luiyyah fi al-Asanid al-Alawiyyah (Kumpulan Ijazah Bapa beliau, As-Sayyid Alawi)
15. Al-Tali' al-Sa'id al-Muntakhab min al-Musalsalat wa al-Asanid (Kumpulan Ijazah)
16. Al-'Iqd al-Farid al-Mukhtasar min al-Athbah wa al-Asanid (Kumpulan Ijazah)

Catatan diatas adalah kitab As-Sayyid Muhammad yang telah dihasilkan dan diterbitkan. Terdapat banyak lagi kitab yang tidak disebutkan dan juga yang belum dicetak.Kita juga tidak menyebutkan berapa banyak karya tulis yang telah dikaji, dan diterbitkan untuk pertama kali, dengan ta'liq (catatan kaki) dan komentar dari As-Sayyid Muhammad. Secara keseluruhannya, sumbangan As-Sayyid Muhammad amat agung.Banyak hasil kerja As-Sayyid Muhammad telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa.

Mafahim Yujibu an-Tusahhah (Konsep-konsep yang perlu diluruskan) adalah salah satu kitab karya Sayyid Muhammad, red.) bersinar layaknya suatu kemilau mutiara. Inilah seorang manusia yang menantang rekan-rekan senegaranya, kaum Salafi-Wahhabi, dan membuktikan kesalahan doktrin-doktrin mereka dengan menggunakan sumber-sumber dalil mereka.

Untuk keberanian intelektualnya ini, Sayyid Muhammad dikucilkan dan dituduh sebagai "seorang yang sesat". Beliau pun dicekal dari kedudukannya sebagai pengajar di Haram (yaitu di Masjidil Haram, Makkah, red.). Kitab-kitab karya beliau dilarang, bahkan kedudukan beliau sebagai professor di Umm ul-Qura pun dicabut. Beliau ditangkap dan passport-nya ditahan. Namun, dalam menghadapi semua hal tersebut, Sayyid Muhammad sama sekali tidak menunjukkan kepahitan dan keluh kesah. Beliau tak pernah menggunakan akal dan intelektualitasnya dalam amarah, melainkan menyalurkannya untuk memperkuat orang lain dengan ilmu (pengetahuan) dan tasawwuf.

Pada akhir hayatnya yang berkenaan dengan adanya kejadian teroris di Saudi Arabia, beliau mendapatkan undangan dari ketua umum Masjidil Haram Syeikh sholeh bin Abdurahman Alhushen untuk mengikuti "Hiwar Fikri" di Makkah yang diadakan pada tg 5 sd 9 Dhul Q'idah 1424 H dengan judul "Al-qhuluw wal I'tidal Ruya Manhajiyyah Syamilah", di sana beliau mendapat kehormatan untuk mengeluarkan pendapatnya tentang thatarruf atau yang lebih poluler disebut ajaran yang beraliran fundamentalists atau extremist. Dan dari sana beliau telah meluncurkan sebuah buku yang sangat popular dikalangan masyarakat Saudi yang berjudul "Alqhuluw Dairah Fil Irhab Wa Ifsad Almujtama". Dari situ, mulailah pandangan dan pemikiran beliau tentang da'wah selalu mendapat sambutan dan penghargaan masyarakat luas.

Pada tanggal 11/11/1424, beliau mendapat kesempatan untuk memberikan ceramah di hadapan wakil raja Amir Abdullah bin Abdul Aziz yang isinya beliau selalu menggaris-bawahi akan usaha menyatukan suara ulama dan menjalin persatuan dan kesatuan da'wah.

Beliau wafat hari jumat tanggal 15 ramadhan 1425 dan dimakamkan di pemakaman Al-Ma'la disamping kuburan istri Rasulullah Sayyidah Khadijah binti Khuwailid ra. Dan yang menyaksikan penguburan beliau seluruh umat muslimin yang berada di Makkah pada saat itu termasuk para pejabat, ulama, para santri yang datang dari seluruh pelosok negeri, baik dari luar Makkah atau dari luar negeri.

Semuanya menyaksikan hari terakhir beliau sebelum disemayamkan, semua menyaksikan janazah beliau setelah disembahyangkan di Masjidil Haram ba'da sholat isya yang dihadiri oleh tidak kurang dari sejuta manusia. Begitu pula selama tiga hari tiga malam rumahnya terbuka bagi ribuan orang yang ingin mengucapkan belasungkawa dan melakukan `aza'. Dan di hari terakhir `Aza, wakil Raja Saudi, Amir Abdullah bin Abdul Aziz dan Amir Sultan datang ke rumah beliau untuk memberikan sambutan belasungkawa dan mengucapkan selamat tinggal kepada pemimpin agama yang tidak bisa dilupakan umat.

Semoga kita bisa meneladani beliau. Amien.

Sumber: Madinatul Ilmi

Hukum Menangisi Orang Yang Meninggal Dunia

Assalamu'alaikum Ustadz...

"Saya mau tanya perihal hukum seseorang yang menangisi orang yang telah meninggal dunia. Bolehkah kita menangis tatkala ada di antara orang-orang terkasih kita yang meninggal dunia? Sebagian orang mengatakan hal itu haram. Benarkah demikian?" (Ahmadi, Subang : 08564231xxxx)

Jawaban:

Wa'alaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh...

Semoga limpahan kasih sayang Allah senantiasa tercurah kepada Anda.
Menangis bukanlah hal yang buruk. Ia adalah fitrah manusia ketika mengalami kesedihan dan duka cita. Bahkan menangis pun bisa terjadi sebagai sebuah ungkapan bahagia. 

Tatkala orang terkasih kita ada yang meninggal dunia, lalu air mata menetes dan tangisan pun berderai adalah hal yang wajar. Tidaklah mengapa hal itu terjadi dan agama menolerirnya selama di dalamnya tidak disertai perilaku dan tindakan yang diharamkan agama. Jangankan kita manusia biasa yang sangat lemah di hadapan Allah, Rasulullah Saw pun pernah menangis meneteskan air mata tatkala berhadapan dengan saat-saat kematian orang terkasihnya.

Simaklah hadits berikut:

"Dari Asma' binti Yazid ia berkata, "Di saat putra Rasulullah Saw (bernama) Ibrahim wafat, beliau menangis. Salah seorang yang hadir saat itu berkata kepada Nabi Saw, "Ya Rasul, engkau adalah orang yang paling berhak diagungkan Allah haknya." Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya mata bisa mengalirkan air mata dan hati bisa susah. Dan kami tidak mengeluarkan kata-kata yang dimurkai Tuhan kami. Andai kata Allah bukan Dzat yang selalu menepati janji, dan yang (datang) kemudian ikut pada yang pertama, niscaya menjumpaimu wahai Ibrahim lebih utama dari yang kami temukan. Sesungguhnya kami sedih karena berpisah denganmua wahai Ibrahim." (HR Ibnu Majah)

Rasulullah Saw juga pernah menangis saat berziarah kepada ibundanya. Hal ini sebagaimana yang dikisahkan kepada kita oleh Abu Hurairah ra yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw pernah menziarahi makam ibundanya, lalu beliau menangis dan membuat orang-orang di sekitarnya juga ikut menangis. (HR Muslim)

Namun perlu diingat wahai saudaraku, bahwa hendaklah tidak menangis hingga mengeluarkan suara-suara yang keras (berteriak-teriak), jangan pula merobek-robek pakaian, menjambak-jambak rambut dan memukul-mukul pipi sebagai kebiasaan kaum jahiliyah. Karena hal yang demikian itu dilarang oleh Rasulullah Saw.

Beliau Saw bersabda, "Bukan termasuk golonganku seseorang yang (menangis sambil) memukul pipinya, merobek bajunya dan menjerit-jerit seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah." (HR Bukhari)

Setelah menyimak penjelasan di atas, kesimpulannya adalah boleh kita menangis saat kehilangan orang-orang yang kita kasihi. Menangis adalah isyarat masih adanya perasaan kasih dan kelembutan hati di dalam diri kita. Menangislah sewajarnya karena ia merupakan fitrah manusia dan hindari kebiasaan jahiliyah sebagaimana yang dijelaskan hadits di atas.

Demikian saudaraku, semoga bermanfaat. Wallahu a'lam
Wassalam